Oleh. Resti Ummu Faeyza
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Belum satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, Indonesia tak kunjung henti mendapati berbagai persoalan bangsanya sendiri. Keputusan terbaru Presiden Prabowo Subianto yang melakukan reshuffle jajaran menteri dalam kabinet Merah Putih mengagetkan banyak pihak. Ini adalah kali kedua Presiden Prabowo merombak posisi menteri. Diketahui bahwa reshuffle pertama dilakukan pada 19 Februari 2025, mengganti Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro dengan Brian Yuliarto.
Adapun reshuffle kedua kali ini merombak posisi lima menteri sekaligus, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan, Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo, Menteri Keuangan Sri Mulyani yang digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding yang digantikan oleh Mukhtarudin, serta Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi yang digantikan oleh Fery Juliantono (86newa.co, 11-9-2025).
Reshuffle dalam Demokrasi
Perombakan kabinet pada sistem pemerintahan demokrasi merupakan hal yang biasa, bagian dari proses mewujudkan visi dan misi presiden. Tujuan reshuffle biasanya untuk memanajemen ulang kinerja para menteri. Di samping itu, terkadang reshuffle kabinet juga disebabkan oleh desakan terhadap pemerintah terkait pengaruh kinerja menteri pada aktivitas politik maupun ekonomi.
Yang amat disayangkan, dalam sistem demokrasi sejatinya para menteri maupun pejabat yang menempati kursi strategis umumnya berasal dari partai koalisi. Tentu saja hal ini membuat penempatannya tidak terlepas dari asas balas budi.
Tak dapat dimungkiri, beberapa jabatan justru ditempati bukan oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Hal ini bisa menghambat jalannya pemerintahan untuk sampai pada visi dan misi besar presiden. Tetapi memang begitulah demokrasi. Sebanyak apa pun perombakan dilakukan, masyarakat semestinya sudah dapat menebak apa yang akan terjadi berikutnya.
Kegagalan demi kegagalan akan terus terjadi, karena sistem pemerintahan inilah yang menjadi sebab utama tidak tercapainya tujuan suatu bangsa untuk sejahtera.
Demokrasi, Sistem yang Gagal
Keberadaan struktur pemerintahan seperti para menteri, dewan perwakilan rakyat, anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif memang tidak bisa dihapuskan begitu saja dalam demokrasi. Namun, keberadaan mereka juga tidak banyak menguntungkan rakyat. Sebanyak apa pun orang yang menduduki posisi tersebut, sesering apa pun perombakan dilakukan, tidak akan mampu mengubah taraf hidup masyarakat.
Selama sistem yang dipakai masih berupa sistem yang dapat diubah sesuai dengan kepentingan para pemangkunya, hasilnya tetap sama.
Politik di Dalam Islam
Islam memiliki sistem politik yang sangat berbeda dengan demokrasi. Penunjukan para pemimpin rakyat di setiap wilayah dilakukan berdasarkan ketakwaan dan kompetensi yang dimiliki. Begitu pula syarat wajib bagi seorang khalifah atau pemimpin negara dan bawahannya, salah satunya adalah harus dalam kondisi merdeka. Maknanya, pemimpin dalam Islam harus bebas dari segala bentuk tekanan dan pengaruh pihak mana pun.
Dengan begitu, ia bisa konsisten dan mampu menerapkan seluruh hukum syariat tanpa syarat. Dalam konsep pemerintahan Islam tidak ada istilah politik balas budi. Sejatinya, khalifah dipilih berdasarkan baiat, yaitu penyerahan tanggung jawab atas kepercayaan rakyat. Bukan berdasarkan koalisi partai atau para pengusaha yang saling mengucurkan dana untuk menyukseskan calon kepala negara dalam Pemilu.
Dalam sistem politik Islam, pemilihan posisi para wali (gubernur) maupun kepala departemen jauh dari praktik suap maupun hutang budi.
Indonesia, sejak kemerdekaannya hingga kini, menerapkan sistem politik demokrasi. Hasilnya hanya melahirkan para koruptor dan makin buruknya kinerja wakil rakyat. Bukti nyatanya, masyarakat yang hidup di negeri kaya sumber daya alam ini justru tidak terurus dengan baik.
Belum satu abad sistem ini berdiri, demokrasi dalam pemerintahan sudah banyak mengalami kegagalan. Hukum yang dipakai bisa diubah sesuai kepentingan oligarki atas nama demokrasi.
Islam Solusi Sempurna
Sejak kelahirannya, demokrasi memang tidak akan pernah mampu membangun pemerintahan yang bersih, apalagi membawa masyarakat pada kesejahteraan. Saat ini hanya Islamlah solusi paling sempurna untuk mengatasi ketidakpuasan masyarakat atas pemerintahan dan sistem politik yang ada.
Islam memiliki sistem politik yang utuh dan sesuai dengan fitrah manusia. Setiap kebijakan bersandar pada hukum-hukum Allah, bukan kepentingan golongan. Dalam sistem kehidupan Islam, setiap manusia dijaga agar selalu sadar hubungannya dengan Allah. Hal ini menumbuhkan rasa takut bagi para pemimpin dan rakyat untuk berbuat zalim maupun maksiat.
Wallahualam. [ry]
Baca juga:

0 Comments: