Jabatan Jadi Alat Memperkaya Diri, Abai Nasib Rakyat yang Diwakili
Oleh. Dhevi Firdausi, S.T.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Marak demo terjadi di masyarakat, baik kalangan mahasiswa maupun rakyat biasa. Tidak hanya di kota besar, kota kabupaten pun diwarnai dengan aksi serupa. Pemicunya satu hal: joget para anggota dewan karena naiknya tunjangan bulanan. Padahal kondisi ekonomi rakyat sedang sulit, banyak yang jatuh ke jurang kemiskinan. Wajar jika rakyat memprotes kebijakan kenaikan tunjangan tersebut.
Pendapatan para wakil rakyat bocor ke tengah publik. Selain gaji pokok, mereka juga menerima banyak tunjangan. Alhasil, pendapatan resmi mereka sangat fantastis, lebih dari Rp100 juta per bulan. Itu pun baru pendapatan resmi, belum termasuk dana tambahan dari berbagai sumber lainnya. Sangat disayangkan, pendapatan besar tersebut tidak diiringi kinerja yang memuaskan. Terbukti, para wakil rakyat belum mampu mengangkat perekonomian masyarakat. Rakyat masih berada dalam situasi yang sulit.
Kalau kita amati, akar problematika ini adalah diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini memang membutuhkan biaya sangat mahal sejak awal. Wajar, dalam sistem demokrasi, para pejabat sibuk mengembalikan modal yang telah mereka habiskan sekaligus mengeruk keuntungan materi. Sudah lama negeri ini mengadopsi kapitalisme yang berasal dari Inggris dan Amerika Serikat. Padahal, sistem demokrasi kapitalisme rusak sejak dari asasnya, sehingga hanya menimbulkan kerusakan ketika diterapkan.
Wakil Rakyat dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme
Sistem demokrasi kapitalisme menciptakan kesenjangan ekonomi antara pejabat dan rakyat. Kondisi ini sangat wajar dalam sistem tersebut. Kapitalisme menjadikan para pemilik modal sebagai penguasa. Akibatnya, orang kaya makin menjadi konglomerat, sedangkan yang miskin semakin melarat.
Selain itu, materi dijadikan tujuan dalam segala hal, termasuk politik. Pemikiran ini melahirkan politik transaksional. Kesejahteraan rakyat bukan hal utama dalam politik, melainkan siapa yang memiliki dana besar. Ini sudah menjadi rahasia umum dalam demokrasi. Setelah berhasil menduduki kursi legislatif, para wakil rakyat berhak menentukan sendiri besaran gaji dan tunjangan bulanan mereka.
Berpartisipasi dalam demokrasi ibarat masuk lingkaran setan. Untuk mengikuti pemilu saja membutuhkan dana miliaran rupiah. Tentu uang ini bukan untuk sedekah, melainkan investasi yang harus kembali dengan keuntungan setelah meraih jabatan. Orang baik sekalipun ketika sudah menjabat sering terseret arus untuk memperkaya diri. Dalam sistem ini, jabatan wajar dijadikan alat untuk memperkaya diri dan partai.
Kalau fokus kerja pejabat sudah demikian, hilanglah empati mereka terhadap rakyat. Ketika empati hilang, mudah bagi wakil rakyat abai terhadap amanah mensejahterakan rakyat. Mereka hanya mewakili kesejahteraan dirinya sendiri, dengan gaji dan tunjangan fantastis. Ditambah lagi rumah dinas dan mobil mewah. Anehnya, dengan segala fasilitas itu, masih banyak wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi.
Wakil Rakyat dalam Daulah Islam
Islam adalah agama yang sempurna. Tidak hanya mengatur ibadah ritual seperti salat, zakat, dan puasa, tetapi juga hubungan sosial, termasuk ekonomi dan politik. Rasulullah saw. dan para sahabat telah mencontohkannya. Dalam Islam, daulah memiliki struktur kepemimpinan, termasuk wakil rakyat.
Tugas wakil rakyat dalam Islam berbeda tegas dengan demokrasi. Islam berasaskan iman kepada Allah Swt., Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan. Islam memiliki aturan berupa Al-Qur’an dan Sunah sebagai pedoman. Sangat berbeda dengan kapitalisme yang aturannya lahir dari akal manusia semata.
Dalam Islam, akidah menjadi asas setiap syariat. Wakil rakyat dipilih karena kualitas iman dan ketakwaannya. Mereka sadar jabatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Anggota Majelis Umat berperan menyalurkan aspirasi masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, para khalifah tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Anggota Majelis Umat pun sangat amanah. Mereka menjadi teladan dunia dan akhirat. Seorang muslim dengan iman kuat akan selalu taat syariat, karena iman adalah penjaga utama dari kemaksiatan.
Islam mewajibkan umatnya memiliki kepribadian sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw. Anggota Majelis Umat harus berkepribadian Islam yang berkualitas, karena jabatan adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Suasana yang terbentuk ketika Islam diterapkan adalah fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan). Dengan semangat ini, wakil rakyat menjalankan amanah dengan penuh tanggung jawab. Mereka bekerja sama mewujudkan kesejahteraan rakyat, dengan rida Allah Swt. sebagai balasan. Bukan harta yang mereka kejar, melainkan pahala di sisi Allah.
Dengan demikian, pejabat dalam Islam akan memiliki empati tinggi pada rakyat. Mereka tidak akan berjoget ria atas kenaikan tunjangan di tengah sulitnya ekonomi rakyat. Mereka juga tidak akan korupsi, karena korupsi adalah kemaksiatan yang dilarang Allah.
Berbeda dengan kondisi wakil rakyat sekarang, umat Islam tidak boleh putus asa. Rasulullah saw. telah mengabarkan bahwa kelak Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan tegak kembali. Kabar gembira ini menjadi secercah harapan, umat Islam akan bangkit lagi.
Wallahualam. [My]
Baca juga:

0 Comments: