Demonstrasi Nepal, Wujud Bobroknya Negara Demokrasi
Oleh. Puput Ariantika, S.T.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Dunia belakangan ini disuguhkan berita demonstrasi besar-besaran dari rakyat yang menuntut keadilan di berbagai negara. Sebelumnya, Indonesia menjadi sorotan media internasional akibat aksi demonstrasi di sejumlah daerah tanah air. Namun, kali ini aksi demonstrasi besar-besaran datang dari Nepal.
Aksi yang telah menelan korban 22 jiwa ini terjadi pada Senin, 10 September 2025. Bentrokan tak terhindarkan antara aparat polisi dengan para aksi demonstrasi yang berujung penembakan gas air mata, peluru karet, dan meriam air (Kabar24bisnis.com, 10-09-2024).
Penyebab Aksi Demonstrasi
Penyebab aksi demonstrasi di Nepal adalah kesenjangan dan kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat Nepal. Rakyat hidup di tengah-tengah kesulitan ekonomi parah, lapangan pekerjaan tidak tersedia, hingga harus mengais pekerjaan ke luar negeri.
Namun, berbeda dengan kehidupan para pejabat, elite politik, dan keluarganya, mereka hidup dengan kehedonisan di atas penderitaan rakyat Nepal. Para pejabat dan keluarganya memanfaatkan berbagai fasilitas negara demi menikmati kemewahannya. Mirisnya, kehidupan glamor itu dipamerkan di media sosial.
Hal ini jelas memicu kemarahan rakyat. Tanpa bekerja keras mereka bisa hidup mewah dengan menggunakan uang negara. Peristiwa ini menunjukkan jurang kehidupan para pejabat yang tak peka terhadap penderitaan rakyat.
Dengan kondisi rakyat yang terus mempertahankan kehidupan di tengah kesulitan ekonomi, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan pemblokiran media sosial. Larangan ini jelas menjadi pemantik kemarahan rakyat, mengingat akses media sosial saat ini menjadi sebuah kebutuhan di tengah kemajuan teknologi. Ketakutan pemerintah terhadap para pengkritik di media sosial membuat mereka kalap sehingga ingin membungkam rakyat yang beropini.
Pemblokiran media sosial diharapkan bisa membatasi ruang kritik rakyat di dunia maya. Pemerintah Nepal juga bertindak keras dengan menjerat siapa saja yang mengkritik pemerintah dengan hukuman penjara.
Bobroknya Negara Demokrasi
Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Nepal menunjukkan bahwa dunia tidak baik-baik saja. Apalagi setiap aksi demonstrasi selalu memakan korban, baik korban tewas maupun luka-luka. Padahal demonstrasi adalah salah satu aktivitas untuk menyampaikan kegelisahan rakyat atas kebijakan para penguasa.
Demonstrasi ini dilakukan ketika ruang diskusi ditutup rapat oleh penguasa. Demikian pula dewan perwakilan rakyat juga tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Dengan pembungkaman suara rakyat oleh penguasa, semakin nyata demokrasi hadir bukan untuk menyejahterakan rakyat, tapi untuk menindas rakyat.
Besarnya gelombang demonstrasi yang terjadi di Nepal hingga berujung anarkis menunjukkan bahwa rakyat benar-benar telah sadar akan kezaliman para penguasa. Namun, kesadaran rakyat hanya sebatas kesadaran emosional yang tidak tahu arah perubahan mau dibawa ke mana.
Rakyat masih sebatas menyadari yang salah adalah orang yang menjabat sebagai penguasa. Maka mereka harus turun dari jabatannya agar rakyat tenang dan kesejahteraan dapat dirasakan. Padahal, jika rakyat sedikit saja berpikir, mereka akan menemukan sumber masalahnya adalah penerapan demokrasi yang membuat mereka terus menderita.
Demokrasi hadir bukan untuk menyejahterakan rakyat, walaupun semboyannya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Semua itu hanyalah semboyan tanpa makna apa pun. Mengingat selama demokrasi diterapkan oleh negara-negara di dunia, rakyat tetap menderita.
Demokrasi telah gagal dari konsepnya, yaitu meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Manusialah yang berhak membuat hukum dengan segala keterbatasan akal manusia itu sendiri. Alhasil, siapa pun penguasanya, hukum atau kebijakan akan selalu sesuai dengan kepentingan mereka dan keluarganya.
Keadilan dalam Islam
Dalam Islam, rakyat adalah fokus utama untuk disejahterakan oleh negara, karena negara berfungsi sebagai pengurus rakyat. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syarak. Jadi, setiap kebijakan akan dibuat sesuai dengan hukum syarak dan demi kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana firman Allah Swt.,
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”
(TQS Al-An’am: 57)
Jelas sudah, dalam Islam manusia tidak diberikan peluang sedikit pun untuk membuat hukum. Penguasa hanya sebatas menjalankan hukum syarak demi terciptanya kesejahteraan di tengah-tengah rakyat.
Selain itu, dalam Islam terdapat hukum sanksi dan adanya lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan konflik antara penguasa dan rakyat, yakni Qadi Mazalim. Lembaga ini tidak bisa dikendalikan oleh penguasa seenaknya. Jadi, jika rakyat tidak suka atas kebijakan penguasa, rakyat bisa mengadukan kepada Qadi Mazalim. Lembaga ini pun akan menindaklanjuti aduan rakyat, apakah benar adanya atau hanya kamuflase rakyat terhadap penguasa.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi sengketa antara rakyat dengan penguasa daerah setingkat gubernur. Rakyat yang saat itu seorang Yahudi mengadu kepada Khalifah Umar atas kezaliman yang didapatnya, yaitu penggusuran rumahnya karena gubernur hendak memperluas masjid. Meskipun telah dilakukan ganti rugi, si Yahudi tetap tidak terima.
Khalifah Umar langsung menyelesaikan permasalahan dengan mengirimkan tulang yang digores pedang membentuk garis lurus kepada gubernur. Setelah Yahudi memberikan tulang itu kepada gubernur, wajah gubernur pucat dan ia mengembalikan rumah si Yahudi. Begitulah wujud keadilan yang dirasakan rakyat dalam Islam.
Khatimah
Kezaliman yang dirasakan rakyat hari ini tak lepas dari penerapan sistem demokrasi. Rakyat harus menyadarinya dan berpikir untuk menerapkan solusi yang sesungguhnya, yaitu Islam. Hanya dengan Islam kehidupan manusia akan terjamin kesejahteraannya. Namun, perlu disadari, Islam butuh wadah untuk bisa diterapkan, yakni sebuah konstitusi negara bernama Khilafah Islamiah.
Wallahu a’lam bish-shawab. [ry]
Baca juga:

0 Comments: