Oleh. Yeni Sartika
(Kontributor SSCQMedia.com)
SSCQMedia.com — Pada 12 Rabi‘ul Awwal 1447 H, umat Islam memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Di setiap sudut kota dan desa, mereka mengenang kelahiranmu. Namamu bergema, ya Rasulullah. Mereka menyerukan selawat untukmu: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Assalamu ‘alaika ya Rasulullah, assalamu ‘alaika ya habibullah.
Ya Rasulullah, hadirmu menjadi pelita dan cahaya dalam kegelapan. Engkaulah manusia agung yang Allah utus untuk membawa syariat-Nya. Tanpa hadirmu, kami tidak akan mengenal indahnya Islam. Tanpa petunjuk dan dakwahmu, mungkin kami masih bergelimang dosa dan penuh kemaksiatan. Betapa beruntungnya kami menjadi umatmu. Syukran, ya Rasulullah.
Ya Rasulullah, kami semua tahu bahwa Al-Qur’an adalah mukjizatmu, warisan yang engkau tinggalkan untuk kami, umatmu. Kami juga menyadari bahwa Al-Qur’an adalah pedoman hidup bagi dunia dan akhirat. Namun, kebanyakan di antara kami menjadikannya hanya pajangan di ruang tamu. Jangankan memahami dan mengamalkan isinya, membacanya pun masih banyak di antara kami yang belum bisa. Astaghfirullah, sungguh sangat disayangkan, ya Rasulullah.
Semestinya maulid Nabi tidak hanya sekadar mengenang kelahiranmu, melainkan menjadi muhasabah untuk bangkit meneruskan perjuanganmu. Rasulku, umatmu banyak yang terlena dengan dunia. Risalahmu hanya dianggap cerita masa lalu. Mereka lalai dalam mentaatimu. Ya Rasulullah, maafkan kami, umatmu.
Ya Rasulullah kekasih Allah, tak sedikit dari umatmu yang mengaku cinta padamu, tak sedikit pula yang beriman kepadamu. Namun, lisan mereka terkadang tidak sejalan dengan hati. Katanya mereka cinta, tetapi tak menaati perintah dan laranganmu. Kabarnya mereka beriman, tetapi membenci syariatmu. Cinta macam apa ini? Inikah cinta palsu itu? Entahlah. Yang pasti, cinta butuh bukti, bukan hanya di bibir, tetapi juga di hati dan perbuatan.
Cinta Nabi berarti cinta syariat-Nya. Cinta Nabi berarti menjalankan sunahnya. Lakukan yang Nabi suka dan tinggalkan yang Nabi larang. Itulah cinta sejati yang sesungguhnya.
Wahai Nabiku, aku pun belum menjadi umatmu yang terbaik, belum sempurna pula dalam mencintaimu. Namun, kini aku sedang belajar mentaatimu dan Tuhanku. Aku berupaya berbenah diri agar lebih baik karena berharap dicintai Allah dan Rasul-Nya. Aku ingin mengenalmu dan memantaskan diri menjadi umatmu. Sesungguhnya aku sangat merindukanmu, ya Rasulullah.
Tak terbayang betapa berat perjuanganmu dalam menyiarkan Islam di masa itu. Jiwa, raga, dan harta engkau korbankan. Hingga detik terakhir usiamu, hanya umatmu yang engkau sebut dan engkau khawatirkan. Begitu besar cintamu kepada kami, ya Rasulullah.
Namun, bagaimana balasan umatmu? Cinta umatmu belum teruji. Lemah tak berarti, bagaikan tubuh tak bernyawa, hampa, kosong, hanya senandung belaka. Kini mereka jauh dari agama dan jauh pula dari Al-Qur’an yang seharusnya selalu menjadi genggaman. Umatmu banyak, ya Rasul, tetapi seperti buih di lautan. Sedih menyesakkan jiwa.
Wahai Nabiku, banyak cerita yang tersimpan dalam hatiku, banyak duka yang ingin kusampaikan padamu, banyak luka yang ingin kuadukan padamu. Salah satunya adalah penderitaan saudara muslim kami di Palestina yang tak kunjung usai. Untuk menolong, tangan tak sampai; ingin merangkul, tak mampu menggapai. Kezaliman di depan mata, tetapi para penguasa kaum muslim belum serius menanganinya. Kami hanya bisa berdoa dan memohon kepada Allah agar segera menurunkan pertolongan-Nya.
Perih hati melihat mereka disiksa dalam kelaparan. Walaupun teguh hati dan kuat iman, rasa malu menghantui kami ketika mereka berseru, “Di mana umat Nabi Muhammad saw.? Di mana umat Islam yang katanya bersaudara?” Apa yang akan kami katakan, ya Rasulullah?
Wahai Rasulullah, di belahan bumi lain tak sedikit pula yang melupakanmu. Mereka mulai menyukai kebebasan tanpa lagi terikat syariatmu. Kemajuan sains dan teknologi membuat mereka abai terhadap perintah dan laranganmu. Halal haram tak lagi menjadi acuan. Banyak wanita tak peduli pada auratnya, bergoyang di dunia maya, mencari jati diri dengan bangga. Mereka seolah tak peduli dengan perjuanganmu dalam mengangkat derajat kaum wanita.
Begitu pula dengan negeriku yang kini tidak baik-baik saja, ya Rasulku. Para penguasa semena-mena, menzalimi rakyat dengan manis kata. Pajak yang engkau haramkan justru mereka wajibkan. Aturan yang dibuat pun bukan bersumber dari Al-Qur’an dan hadis. Mereka membuat aturan sesuai kebutuhan, kebijakan sesuai pesanan, dan warisan penjajah dijadikan landasan. Sungguh memprihatinkan, ya Rasulullah.
Akhir-akhir ini, negeri kami sedang kacau, ya Rasulullah. Demo di mana-mana, rakyat menuntut keadilan, mereka butuh perhatian. Kebijakan yang banyak merugikan membuat hati rakyat terpanggil untuk menyuarakan kebenaran. Namun, hingga kini belum ada solusi dan bahkan tak ada tanggapan. Karena mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya solusi hakiki untuk setiap permasalahan umat adalah kembali kepada syariat Islam.
Wahai Nabiku, ini surat cintaku yang pertama untukmu. Memang untaian kalimatnya tak terangkai indah, tetapi aku berharap suatu saat menjadi hujah. Kelak jika Allah izinkan aku bertemu denganmu, panggil aku, ya Rasulullah. Kenali aku, wahai Nabiku. Aku ingin bersamamu, dikumpulkan di surga bersama keluargaku dan sahabat-sahabat surgaku yang memperjuangkan syariatmu. Semoga Allah meridai. Aamiin, aamiin ya Rabbal ‘Alamin.
Pekanbaru, 10 September 2025
Baca juga:

0 Comments: