Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com —“Bu… aku lapar.”
Suara kecil itu nyaris tak terdengar, seakan tertiup angin yang membawa debu puing bangunan. Anak kecil itu, tubuhnya kurus, badannya tinggal tulang, matanya cekung, memeluk erat ibunya dalam kondisi mengenaskan, penuh luka dan darah, di lorong gelap reruntuhan Gaza. Sang ibu menggenggam tangannya kuat-kuat, meski di wajahnya tak ada jawaban selain linangan air mata.
Di hadapannya, reruntuhan rumah tetangga masih mengeluarkan asap bekas rudal. Dari balik debu terdengar jeritan panjang, lalu hening. Gaza kembali menjadi kuburan hidup.
Tak jauh dari sana, kamera yang pernah merekam kebenaran kini pecah berantakan. Tubuh lima jurnalis tergeletak kaku, darah mereka merembes ke tanah yang sudah terlalu banyak meminum darah tak bersalah. Dunia pun gemetar. Antonio Guterres, Sekjen PBB, berteriak lantang:
“Serangan terhadap jurnalis adalah serangan kepada kebenaran!”
Namun, kata-kata itu hanya menggema sebentar, lalu hilang ditelan dentuman bom berikutnya.
“Bu, mengapa mereka membunuh semua orang? Bahkan orang yang hanya memegang kamera?” tanya bocah itu lagi.
Ibunya merunduk, memeluk anaknya lebih erat. “Nak, mereka takut pada kebenaran. Mereka takut pada kata-kata yang lebih tajam dari senjata. Tapi ingatlah… Allah tidak pernah meninggalkan kita.”
Laporan PBB menorehkan kenyataan pahit: satu juta perempuan dan anak di Gaza menghadapi kelaparan massal. Lebih dari 200 ribu anak kini terjebak dalam malnutrisi parah. Bukan hanya peluru yang membunuh mereka, tetapi juga perut kosong, hari demi hari.
Di lorong-lorong sempit, para ibu berjuang bertahan dengan sepotong roti kering untuk lima anaknya. Di tenda pengungsian, anak-anak menangis semalaman bukan karena takut, tetapi karena lapar. Dan dunia? Hanya bisa menghitung angka korban, tanpa mampu menghentikan darah yang terus mengalir.
Zionis terus menebar teror. Mereka menghancurkan rumah sakit, sekolah, bahkan masjid. Mereka tak berani berhadapan dengan para pejuang sejati, maka yang diserang adalah bayi-bayi yang masih dalam buaian, perempuan yang menjerit mencari anaknya, dan jurnalis yang membawa pena serta kamera.
“Apakah mereka tidak punya hati, Bu?” suara bocah itu pecah dalam tangis.
Ibunya mengangkat wajah, menatap langit yang dipenuhi asap hitam. “Tidak, Nak. Mereka telah kehilangan hati. Mereka hanya punya senjata, tapi tak punya nurani.”
Namun, kebisuan para penguasa negeri-negeri muslim lebih memilukan lagi. Padahal Rasulullah saw. telah bersabda:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta dan kasih sayang bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Tetapi tubuh umat Islam yang besar kini seperti mati rasa. Gaza berdarah, namun dunia Islam seakan tak merasa.
Malam semakin larut. Bom terus mengguncang bumi Gaza. Bocah itu kembali bertanya, dengan suara hampir putus asa:
“Bu, apakah kita akan selamat? Apakah suatu hari nanti kita akan bebas?”
Sang ibu mengusap air matanya, lalu berbisik di telinga anaknya:
“Ya, Nak. Akan ada hari itu. Allah sudah berjanji. Dulu Umar bin Khaththab pernah membebaskan tanah ini. Shalahuddin al-Ayyubi juga pernah mengibarkan bendera kemenangan di tanah ini. Dan janji Allah itu pasti akan kembali terwujud. Kita mungkin tak melihatnya dengan mata kita, tetapi anak-anakmu, cucu-cucumu, mereka akan melihatnya.”
Allah berfirman dalam QS. An-Nur: 55:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.”
Itulah janji yang tak akan pernah padam. Gaza hanyalah satu bab dalam kitab panjang perjuangan umat Islam. Darah mereka adalah tinta sejarah yang menulis jalan menuju kemenangan.
Hari ini Gaza menangis. Esok mungkin negeri muslim lain yang merasakan hal serupa. Jika umat terus terpecah, tragedi itu akan berulang. Tetapi jika umat kembali bersatu, menegakkan perisai yang kuat, maka janji Allah akan nyata.
Tangisan Gaza bukan hanya milik rakyat Palestina. Tangisan itu adalah panggilan untuk setiap muslim, di mana pun ia berada. Karena luka Gaza adalah luka kita. Dan kemenangan Gaza kelak adalah kemenangan seluruh umat Islam.
“Bu,” ucap bocah itu sekali lagi, matanya mulai terpejam karena letih, “apakah Allah mendengar doa kita?”
Sang ibu mengecup kening anaknya, lalu berkata:
“Nak, Allah selalu mendengar. Dan Dia sudah menyiapkan kemenangan untuk kita. Bersabarlah, karena janji Allah itu pasti.”
Malam pun menyelimuti Gaza. Di tengah reruntuhan dan darah yang membeku, tangisan itu terus menembus langit, menggedor pintu-pintu hati yang masih hidup di luar sana. [My]
Baca juga:

0 Comments: