Tangguhnya Anak Gaza Versus Remaja Duck Syndrome
Oleh. Ulfa Ummu Zahwa
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Kabar dari Gaza kembali menyayat hati. Penjajahan yang tidak seimbang telah memporak-porandakan kehidupan: pusat pendidikan dibombardir, rumah sakit dihancurkan, fasilitas publik diluluhlantakkan, bahkan upaya pelaparan dilakukan untuk memaksa warga keluar dari tanahnya. Namun, di tengah kehancuran itu, kita menyaksikan sebuah pemandangan luar biasa: anak-anak Gaza tetap belajar, tetap berprestasi, dan tetap bercita-cita membangun masa depan di tanah kelahirannya.
Mereka menulis mimpi dengan darah dan air mata, namun tak gentar. Sekolah yang runtuh tidak menghentikan semangat mereka membaca Al-Qur’an. Kehilangan orang tua tidak membuat mereka menyerah meraih ilmu. Mereka tumbuh dengan keyakinan bahwa menuntut ilmu dan menjaga tanah suci adalah bagian dari ibadah dan perjuangan. Ketangguhan ini lahir dari iman yang kokoh dan pendidikan berbasis Al-Qur’an yang ditanamkan sejak kecil.
Bandingkan dengan fenomena yang kini merebak di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yaitu duck syndrome. Istilah ini muncul karena kondisinya diibaratkan seperti bebek yang tampak tenang di permukaan air, tetapi di bawahnya sibuk mengayuh agar tetap bisa berenang (Kompas.com, 22/08/2025).
Duck syndrome menggambarkan kondisi mahasiswa yang tampak tenang di permukaan, tetapi sebenarnya “berenang panik” di bawah permukaan, tersiksa oleh tekanan hidup. Mereka dipaksa memenuhi ekspektasi tinggi, terjerat standar perfeksionis ala Kapitalisme, dan terseret gaya hidup sekuler yang menjauhkan mereka dari makna hidup yang hakiki.
Fenomena ini menunjukkan rapuhnya mental sebagian remaja dan mahasiswa. Mereka seolah memiliki segala fasilitas: kampus megah, akses internet tanpa batas, gadget canggih. Namun, di balik layar, banyak yang tersiksa, stres, bahkan depresi. Sebab mereka kehilangan arah hidup, lemah iman, dan terjebak dalam sistem yang menuntut pencapaian materi tanpa memberi makna ruhiyah.
Kontras ini sungguh tajam: anak Gaza tetap berdiri kokoh meski hidup dalam perang, sementara banyak remaja di negeri aman justru tumbang dalam tekanan gaya hidup kapitalistik.
Apa yang membedakan keduanya? Jawabannya ada pada pondasi iman dan sistem yang menaungi mereka. Anak-anak Gaza tumbuh dengan kesadaran bahwa hidup adalah perjuangan menegakkan kalimat Allah, sementara generasi muda dalam sistem Sekuler Kapitalisme tumbuh dengan tuntutan ilusi kebahagiaan materi.
Karena itu, inspirasi dari Gaza harus menjadi cermin. Remaja di negeri-negeri muslim perlu kembali menemukan identitas hakiki sebagai hamba Allah, bukan sekadar “produk” Kapitalisme. Ketangguhan anak-anak Gaza adalah bukti nyata bahwa Islam mampu membina generasi tangguh, yang siap menghadapi kondisi seberat apa pun.
Saatnya remaja muslim keluar dari jebakan duck syndrome. Bukan dengan motivasi semu, melainkan dengan kesadaran iman, pemahaman hakikat hidup, dan perjuangan bersama menegakkan sistem Islam yang menyelamatkan. Hanya dengan begitu, generasi muslim akan menjadi kuat, bukan hanya lahiriah, tetapi juga ruhiyah dan pemikiran.
Wallahu a’lam bishshawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: