Headlines
Loading...
Tanah Terlantar, Rakyat Menderita, Khilafah Jawabnya

Tanah Terlantar, Rakyat Menderita, Khilafah Jawabnya


Oleh. M. U. Fatin Muthiah
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.ComDilansir dari cnnindonesia.com (14/7/2025), Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menyatakan bahwa negara bisa mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini tidak hanya berlaku untuk tanah bersertifikat HGU atau HGB, tetapi juga tanah hak milik jika terlantar, sesuai dengan Pasal 7 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa tanah terlantar selama dua tahun dapat diambil alih oleh negara tampak seolah berpihak pada kepentingan umum. Namun, jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini justru membuka peluang besar bagi negara untuk menyerahkan aset tanah kepada pemodal besar. Dalam sistem kapitalisme saat ini, tanah tidak lagi dipandang sebagai amanah publik, melainkan komoditas yang diperdagangkan demi keuntungan segelintir elite oligarki.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) lebih banyak diberikan kepada korporasi besar, sementara rakyat kecil kesulitan mendapatkan akses tanah untuk tempat tinggal, bertani, bahkan berdagang. Alih-alih melindungi hak rakyat, negara justru berperan sebagai fasilitator kepentingan para pemilik modal. Narasi pengambilalihan tanah yang tidak dimanfaatkan hanyalah celah lain untuk memperluas konsesi oligarki atas nama regulasi.

Ironisnya, banyak lahan milik negara yang sejatinya dapat digunakan untuk kepentingan publik justru terbengkalai dan tidak dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah tidak memiliki peta jalan (roadmap) yang jelas untuk penggunaan tanah tersebut secara strategis. Akibatnya, lahan yang seharusnya menjadi solusi bagi krisis perumahan, pangan, dan kesejahteraan rakyat malah menjadi potensi spekulasi oleh pengusaha besar. Lagi-lagi, rakyatlah yang menjadi korban dari sistem yang tidak adil ini.

Lebih menyedihkan lagi, pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan urgensi keuntungan finansial dan efisiensi anggaran, seolah nilai tanah hanya terletak pada potensi ekonomi semata. Kapitalisme telah menjadikan tanah tunduk pada logika investasi dan bisnis. Tanah, yang sejatinya adalah sumber kehidupan, diserahkan sepenuhnya ke tangan pasar bebas. Inilah akibat dari sistem yang tidak memiliki visi mulia dalam mengelola kekayaan bumi.

Sebaliknya, dalam pandangan Islam, tanah diposisikan secara adil dan penuh tanggung jawab. Islam membagi tanah menjadi tiga bentuk kepemilikan: milik individu, milik negara, dan milik umum. Negara memiliki kewajiban untuk menjaga agar tanah tidak dikuasai oleh segelintir orang atau pihak asing. Tanah milik negara harus digunakan untuk proyek-proyek strategis yang langsung menyentuh hajat hidup rakyat, seperti pertanian, perumahan, dan infrastruktur publik. Bukan untuk dijual, disewakan jangka panjang, atau diserahkan kepada korporasi.

Khilafah juga memiliki mekanisme yang adil dalam mengatur tanah mati (al-ardh al-mawāt) atau tanah terlantar. Tanah seperti ini dapat dihidupkan oleh siapa pun untuk dimanfaatkan dengan syarat tidak boleh dibiarkan kembali terbengkalai. Dalam Islam, hak kepemilikan bukan sekadar hak, tetapi juga tanggung jawab dan amanah yang harus dikelola dengan benar agar membawa keberkahan, bukan ketimpangan.

Sudah saatnya umat Islam membuka mata terhadap kenyataan bahwa sistem kapitalisme liberal tidak akan pernah berpihak pada keadilan agraria yang sejati. Solusinya bukan sekadar perbaikan kebijakan dalam sistem yang rusak, melainkan pergantian sistem ke arah yang benar: sistem Islam kafah di bawah naungan Khilafah. Hanya dengan sistem ini, hak-hak rakyat atas tanah akan dijamin secara syar’i dan negara benar-benar menjadi pelindung, bukan penjual aset rakyat. [US]


Baca juga:

0 Comments: