Sindikat Penjualan Bayi Terungkap, di Mana Payung Pelindung Keluarga?
Oleh. Najah Ummu Salamah
Komunitas Penulis Peduli Umat
SSCQMedia.com — Beberapa waktu lalu, Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat berhasil menangkap 12 tersangka yang terlibat dalam kasus perdagangan bayi jaringan internasional. Selain itu, lima bayi juga berhasil diselamatkan.
Dengan modus adopsi, sindikat ini telah menjual 24 bayi ke Singapura dengan harga antara Rp11 juta hingga Rp16 juta. Bayi-bayi tersebut rata-rata berusia dua hingga tiga bulan dan berasal dari berbagai wilayah di Jawa Barat.
(Beritasatu.com, 15/7/2025)
Lemahnya Peran Negara
Kasus penjualan bayi tersebut merupakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan juga Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 76F.
Fakta ini menunjukkan bahwa persoalan tersebut tidak lepas dari berbagai permasalahan struktural dan kultural.
Pertama, masalah ekonomi. Tidak dapat dimungkiri bahwa kemiskinan menjadi faktor utama. Biaya hidup yang semakin hari semakin tinggi menjadi beban tersendiri bagi orang tua dalam merawat anak. Ketika pelaku datang dengan modus adopsi, banyak yang tergiur untuk menyerahkan bayinya demi sejumlah uang.
Kedua, faktor pendidikan. Ketidakmerataan akses pendidikan dan rendahnya literasi menyebabkan masyarakat mudah ditipu oleh pelaku.
Ketiga, faktor sosial. Budaya pergaulan bebas menyebabkan banyak kehamilan di luar nikah. Akibatnya, banyak bayi lahir tanpa sosok ayah. Bagi sebagian orang, adopsi dianggap sebagai solusi atas beban sosial, tanpa menyadari bahwa pihak yang mengadopsi adalah bagian dari sindikat perdagangan manusia.
Keempat, lemahnya birokrasi. Banyaknya celah dalam sistem administrasi membuat para pelaku mudah memalsukan dokumen. Meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur dan menjerat pelaku TPPO, kasus sindikat penjualan bayi masih saja terjadi.
Ditambah dengan minimnya edukasi kepada warga, lemahnya pengawasan berbagai elemen masyarakat, dan tidak adanya kontrol ketat dalam sistem birokrasi, menjadikan masalah sindikat TPPO ini seperti gunung es—hanya sebagian yang terungkap, sementara kasus lainnya bisa jadi jauh lebih banyak.
Inilah potret nyata sistem sekuler kapitalis, di mana negara hanya berperan sebagai regulator. Padahal, salah satu peran sejati negara adalah menjadi payung pelindung keluarga.
Khilafah: Payung Pelindung Keluarga
Kasus sindikat penjualan bayi mencerminkan absennya peran negara dalam melindungi keluarga. Sistem kapitalis telah mencetak manusia-manusia yang miskin iman, menjadikan sesama manusia sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Sungguh, ini sangat memilukan.
Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Bagaimana mungkin mereka dihilangkan identitas dan nasabnya? Hal ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia dan ajaran agama. Baik orang tua yang menjual anaknya maupun para pelaku TPPO sama-sama telah kehilangan fitrah dan naluri kemanusiaannya demi materi. Terlebih lagi jika pejabat negara turut terlibat dalam pembuatan dokumen palsu.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam. Khilafah hadir sebagai payung pelindung utama bagi keluarga. Mekanisme perlindungannya sangat komprehensif.
Pertama, dimulai dari edukasi menyeluruh kepada setiap warga negara. Tujuannya agar mereka beriman kepada rezeki dari Allah Swt., bahwa setiap makhluk bernyawa telah dijamin rezekinya. Dengan begitu, warga tidak akan takut miskin saat memiliki anak. Islam juga sangat menjaga nasab keturunan karena berkaitan dengan konsekuensi hukum seperti nafkah, wali, waris, dan pergaulan. Karena itu, masyarakat tidak akan mudah menyerahkan anaknya untuk diadopsi. Sistem pendidikan Islam juga mencetak keluarga yang berkepribadian Islam dan tidak tergiur menjual bayi demi uang.
Kedua, melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk partai politik Islam, dalam proses edukasi dan perlindungan anak. Mereka berperan aktif mengingatkan pentingnya menjaga aset umat ini—anak-anak—yang merupakan harapan masa depan. Masyarakat juga diberi ruang untuk mengawasi, melapor, serta memberi masukan terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah.
Ketiga, negara—dalam hal ini Khilafah—berperan sebagai garda terdepan dalam perlindungan warga. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan memungkinkan negara melalui Baitul Mal menanggung kebutuhan dasar keluarga fakir miskin, termasuk memberi tunjangan bagi ibu hamil dan menyusui. Hal ini telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dan juga Khalifah Yazid bin Muawiyah yang bahkan membiayai khitan bagi anak-anak.
(Tarikh Khulafa, Imam Suyuthi)
Sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan masyarakat. Maka, mereka tidak akan sampai pada titik menjual bayinya karena desakan kebutuhan.
Keempat, negara akan menjatuhkan sanksi tegas berupa ta'zir, seperti hukuman kurungan atau denda, sebagai upaya preventif dan kuratif. Terlebih jika pelakunya adalah pejabat negara. Kalaupun adopsi diperbolehkan dalam Islam, tentu harus dengan syarat dan ketentuan yang tidak menghilangkan identitas dan dokumen anak, agar nasab tetap terjaga.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
[Hz]
Baca juga:

0 Comments: