OPINI
Tanah Terlantar Diambil Alih Negara, untuk Kesejahteraan Rakyat?
Oleh. Dhevi Firdausi, ST.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Tanah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan masyarakat. Setiap keluarga membutuhkan tanah dan bangunan rumah untuk tempat tinggal mereka bersama anak-anak tercinta. Pada masa dulu, tiap keluarga memiliki kaveling tanah yang sangat luas. Selain dibangun rumah, pekarangannya dapat dimanfaatkan untuk berkebun di bagian depan, sedangkan pekarangan belakang bisa digunakan untuk beternak hewan. Kondisi tersebut kontras dengan apa yang terjadi sekarang. Banyak rakyat kecil yang tidak memiliki lahan luas untuk rumah mereka. Jangankan lahan luas, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki tanah sendiri. Mereka banyak yang sewa kontrakan, ada juga yang tinggal di rusunawa. Namun, akhir-akhir ini sepertinya ada angin segar bagi masyarakat kelas bawah. Seperti peraturan yang baru saja ditetapkan, mengenai penertiban tanah terlantar.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih oleh negara. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Menurut survei, ternyata banyak sekali jumlah tanah yang tidak dikelola dan dibiarkan begitu saja oleh para pemiliknya. Para pemilik, yang notabene merupakan orang kaya, biasanya membeli beberapa kaveling tanah hanya untuk kepentingan investasi, bukan karena kebutuhan.
Kondisi ini berkaitan erat dengan sistem kehidupan yang sedang diterapkan, yaitu sistem sekular kapitalisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini, menjadikan para pemilik modal semakin berkuasa. Alhasil, orang kaya memiliki hektaran kaveling tanah, sedangkan rakyat jelata kesulitan untuk membeli satu kaveling tanah saja. Sebagai contoh, di kota Surabaya, banyak sekali tanah yang tidak dimanfaatkan oleh para pemiliknya. Bahkan, bukan hanya kaveling tanah, rumah-rumah mewah pun juga banyak yang tidak ditinggali penghuninya. Konglomerat kelas atas tersebut berinvestasi tanah dan rumah untuk anak keturunannya.
Kapitalisme menjadikan tanah sebagai komoditas, bukan amanah publik. Apalagi faktanya, tanah dalam skema HGU dan HGB lebih banyak dikuasai oleh korporasi besar, sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang. HGU (Hak Guna Usaha) dan HGB (Hak Guna Bangunan) adalah dua jenis hak atas tanah yang berbeda. Dalam sistem kapitalisme, negara justru menjadi fasilitator kepentingan para pemilik modal, bukan pelindung hak rakyat. Ini sudah menjadi rahasia umum. Penarikan tanah terlantar bahkan bisa menjadi celah pemanfaatan tanah untuk oligarki. Oligarki yang merupakan sebagian kecil dari masyarakat Indonesia, di mana di dalamnya terdapat para konglomerat, termasuk pengusaha dan penguasa kebijakan publik. Peluang ini menjadi semakin besar, dengan adanya fakta bahwa tindakan korupsi sudah mendapat normalisasi.
Di saat yang sama, banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum, justru dibiarkan terbengkalai. Pemerintah pun tidak memiliki rencana yang jelas untuk memanfaatkan lahan terlantar tersebut, sehingga dapat memicu penyalahgunaan atau pengelola yang tidak tepat sasaran. Tanah tersebut hanya diberi batas kaveling, kemudian ada papan bertuliskan tanah pemerintah. Namun, tidak dimanfaatkan sama sekali. Di Surabaya, tanah terlantar seperti ini banyak sekali. Padahal sebelumnya, tanah kaveling tersebut sudah menjadi rumah penduduk, ada juga yang menjadi tempat usaha. Kemudian pemerintah mengambil alih kepemilikannya, serta menggusur warga yang telah lama menempatinya. Rakyat kembali menjadi korban, sementara para pengusaha mendapat kemudahan.
Pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran. Seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal, tanah adalah sumber kehidupan rakyat. Dengan tanah, rakyat bisa membangun rumah. Dengan tanah, mereka bisa berkebun sayur atau beternak hewan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Dan dengan adanya tanah, rakyat bisa membuka usaha jual beli barang atau jasa. Namun, kapitalisme menjadikan semua hal, termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor. Selama tidak menguntungkan para oligarki tersebut, kavelingan tanah yang luas hanya mangkrak, tidak dikelola sama sekali.
Kita sebagai seorang muslim, memiliki pedoman kehidupan yang lengkap, berupa Al-Qur'an dan Sunah. Tidak hanya mengatur ibadah ritual semata, syariat Islam juga memiliki aturan tentang hubungan sosial masyarakat. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah saw menerapkan seluruh wahyu yang beliau terima. Penerapan Islam secara kafah ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunah walaupun Rasulullah saw. telah tiada. Kekhilafahan Islam ini berlangsung lebih dari 13 abad lamanya, dengan kecemerlangan prestasinya sebagai negara adidaya. Selama ratusan tahun tersebut, masyarakat warga Khilafah sangat sejahtera. Hal ini karena, Islam menjawab semua permasalahan hidup manusia, dengan aturannya yang sempurna. Aturan Islam juga mencakup masalah ekonomi, termasuk pertanahan ini.
Dalam Khilafah, tanah terbagi menjadi tiga jenis kepemilikan, yaitu individu, negara, dan umum. Negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu atau swasta tanpa batas. Khilafah akan mengelola tanah milik negara untuk proyek strategis yang menyentuh kebutuhan rakyat, yaitu permukiman, pertanian, dan infrastruktur umum. Bukan untuk dijual ke asing atau dikuasai korporasi. Tujuannya bukan laba, melainkan kesejahteraan dan keberkahan. Demikianlah, Islam memiliki mekanisme pengelolaan tanah, termasuk tanah terlantar dan tanah mati. [An]
Baca juga:

0 Comments: