Headlines
Loading...

Oleh. Rita Mutiara

(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Sudah lama saya membaca hadis ini. Waktu itu saya masih remaja, sehingga belum benar-benar serius memahami maknanya. Seiring bertambahnya usia, setelah melalui masa-masa sulit dalam hidup—kehilangan, hati yang dilukai, dan doa yang terasa belum dijawab—barulah saya mengenal kekuatan sabar.

Hadis tersebut begitu indah dan menguatkan hati:

Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah kebaikan. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, dan itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Hadis ini seperti pelita di tengah kegelapan, mengingatkan saya bahwa apa pun yang Allah takdirkan—baik berupa nikmat maupun musibah—selalu membawa kebaikan.

Dalam nikmat, Allah menguji rasa syukur kita. Dalam musibah, Allah menguji kesabaran kita. Jika keduanya dijalani dengan hati yang lapang, keduanya akan membawa kita pada kebahagiaan sejati.

Dulu, saya hanya bersyukur atas hal-hal besar saja, padahal begitu banyak hal kecil yang patut disyukuri. Sejak bangun pagi dalam keadaan sehat, merasakan cuaca cerah, dan hangatnya mentari pagi—semua itu adalah nikmat yang harus disyukuri. Bukankah Allah yang menjaga keseimbangan alam semesta ini?

Memiliki kesempatan untuk belajar dan menuntut ilmu pun merupakan nikmat besar. Dulu saya banyak lalai, tidak menyadari bahwa dalam banyak peristiwa, Allah sebenarnya tengah menyebarkan rahmat-Nya dalam bentuk nikmat yang tak terhitung jumlahnya.

Melalui sebuah acara yang digelar SSCQ, Bunda Lilik—selaku muassis dan inspirator utama komunitas ini—mengingatkan pentingnya bersyukur. Kini saya menyadari, syukur bukan hanya soal menerima, tapi soal menyadari. Ternyata, banyak hal yang patut saya syukuri dalam hidup ini.

Salah satu nikmat terbesar dalam hidup saya adalah ketika Allah menganugerahi sosok lelaki yang kini menjadi pendamping hidup saya. Kami terikat dalam pernikahan sejak tahun 1991. Dalam diamnya, saya temukan keteguhan. Dalam sikapnya yang sederhana, saya belajar tentang makna tanggung jawab. Lebih dari itu, kami dipertemukan bukan hanya sebagai pasangan, tapi sebagai dua jiwa yang memiliki visi dan misi sama: membangun rumah tangga yang bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat bertumbuh bersama menuju rida Allah.

Ia mendukung langkah saya, walaupun kadang tidak mendengarkan keresahan saya, dan tidak percaya pada mimpi-mimpi kecil saya. Tapi Allah memampukan saya untuk bersabar dan menyadari bahwa suami istri tidak mungkin sama dalam segala hal. Justru perbedaan itulah yang membuat kami saling melengkapi.

Kini, rumah saya sunyi. Tidak ada suara anak-anak yang bersiap ke sekolah. Tidak ada lagi tumpukan cucian yang mendesak diselesaikan, atau pekerjaan kantor yang menanti di meja kerja. Rumah saya menjadi tenang. Ada damai yang perlahan tumbuh, seperti angin yang berhembus lembut.

Saya duduk di ruang tengah dengan secangkir kopi, membuka mushaf yang kini menjadi teman setia. Lembaran-lembaran ayat itu mengajak saya tenggelam dalam perenungan. Setiap pagi saya memulai hari dengan tilawah dan membaca terjemahan ayat-ayat Al-Qur’an, mencari hikmah yang bisa saya jadikan pedoman hidup.

Saya menemukan pengingat tentang sabar, tentang syukur, dan tentang hakikat bahwa hidup ini hanya sebentar. Beberapa ayat yang saya renungkan membuka pintu-pintu kecil dalam jiwa—yang lama tertutup oleh kesibukan.

Kemudian, saya menulis. Menulis bukan karena ingin dikenal, tapi karena ingin belajar dan berusaha jujur pada diri sendiri dalam melakukan muhasabah. Saya bertanya dalam hati, seperti apakah versi terbaik dari diri saya yang Allah sukai—bukan dari ukuran dunia, tetapi dari nilai-nilai Islam. Saya berusaha menggunakan waktu luang untuk memberi ruang pada jiwa agar bisa tumbuh.

Pertanyaan pun muncul: Apa yang ingin saya capai di sisa hidup ini? Jawabannya tidak datang sekaligus, karena hidup ini adalah ibadah. Sanggupkah saya mengisi waktu dan menjaga hati agar selalu berniat ibadah kepada Allah?

Saya mulai menyusun ulang hidup, bukan dengan rencana besar yang melelahkan, melainkan dengan kesadaran kecil yang menenangkan. Bangun lebih pagi untuk meresapi udara subuh, meminum air putih sambil bersyukur, lalu membuka Al-Qur’an dan membiarkan ayat-ayat-Nya menyentuh hati.

Saya memilih untuk menyederhanakan hari-hari, mengurangi keramaian agar lebih mudah mendengar suara hati. Saya tak lagi terburu-buru mengejar mimpi, melainkan berjalan pelan menuju makna. Hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita capai, tetapi tentang seberapa dalam kita menjalaninya, dan seberapa jujur kita hidup sebagai diri sendiri.

Rida Allah mungkin tidak selalu ditandai dengan hidup yang lapang, rumah besar, atau mobil mewah. Terkadang, rida itu hadir saat saya mencuci piring dengan hati ikhlas, saat saya menasihati anak meski tubuh lelah luar biasa, atau saat saya bersujud lama hanya untuk mengucapkan, "Terima kasih, ya Allah, Engkau beri aku kesempatan untuk menjadi istri dan ibu."

Saya belajar bahwa rida Allah bukan tujuan akhir—melainkan proses. Terus berusaha dan memanjatkan doa-doa yang tak pernah putus, meski tidak semua langsung dijawab.

Dan saya akan terus melangkah, karena saya tahu, selama semua diniatkan karena ibadah, tidak ada yang sia-sia. [My]

Baca juga:

0 Comments: