Headlines
Loading...
Rida Suami sebagai Jalan Menuju Surga

Rida Suami sebagai Jalan Menuju Surga


Oleh. Rita Mutiara 
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.ComDalam ajaran Islam, salah satu kemuliaan seorang istri ditentukan oleh ketaatannya kepada suami, selama dalam kebaikan dan tidak melanggar syariat. Rida suami menjadi pintu utama menuju surga Allah, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Apabila seorang istri melaksanakan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kehormatannya, dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja yang engkau suka.’” (HR. Ahmad).

Namun, bukan berarti istri harus tunduk tanpa hak. Ketaatan istri adalah bentuk penghormatan terhadap amanah yang Allah berikan kepada suami sebagai pemimpin rumah tangga. Ketika seorang istri dengan ikhlas mendampingi suaminya dalam suka dan duka, merawat rumah tangga dengan sabar dan doa, maka setiap langkahnya bernilai ibadah. Dengan begitu, amal ibadahnya bisa menghantarkannya ke surga.

Saya tumbuh dalam keluarga tradisional. Ayah saya bekerja, sementara ibu disibukkan dengan mengurus rumah dan membesarkan kami, anak-anaknya. Dalam budaya patriarki, tak perlu dipertanyakan mengapa ibu tidak bekerja di luar rumah. Seorang ayah dianggap tabu jika mencuci piring atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak atau mencuci. Ayah saya adalah sosok yang harus dilayani. Oleh karena itu, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh ibu. Pola seperti itu sudah terbentuk dari generasi ke generasi.

Namun, karena perbedaan generasi, saya tidak serta-merta membawa pola tradisional itu ke dalam rumah tangga saya sendiri, sebagaimana sebagian besar teman-teman saya. Saya dan suami mengubah cara pandang tentang peran suami istri. Meski demikian, seorang istri tetap harus taat kepada suami selama suami tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Jadi, ketaatan itu hanya berlaku dalam hal-hal yang ma’ruf (baik). Maka, mendapat rida suami tetap menjadi yang utama, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah. Aturan itu sejatinya adalah proses membangun cinta yang tulus karena Allah.

Ketika saya mulai sibuk mengajar di sekolah, suami saya ikut menyiapkan sarapan di pagi hari, kadang membantu menjemur pakaian yang telah saya cuci. Pernah pula suami menggantikan giliran saya menjaga anak, khususnya saat saya terpaksa harus ke sekolah pada sore hari untuk melaksanakan tugas sebagai wali kelas. Rumah terasa lebih hidup—karena kami mengisinya bersama, bukan berjalan sendiri-sendiri. Dari perjalanan ini, kami belajar bahwa pembagian peran bukan soal siapa yang kuat, melainkan siapa8 yang peduli.

Dalam kehidupan rumah tangga masyarakat, dikenal ungkapan: “Gaji suami milik istri dan gaji istri miliknya sendiri.” Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa suami memiliki kewajiban menafkahi istri dan anak-anak, sehingga wajib memberikan penghasilannya kepada istri. Sementara itu, sang istri tidak memiliki kewajiban menafkahi suami, sehingga tidak berkewajiban menyerahkan gajinya.

Sebuah hadis dari Aisyah RA menceritakan tentang seorang istri bernama Hindun binti Abu Sufyan yang mengambil uang dari dompet suaminya karena suaminya, Abu Sufyan, sangat pelit. Kejadian itu kemudian disampaikan kepada Nabi SAW, lalu beliau bersabda:

“Ambillah secukupnya untuk kebutuhanmu dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari, dll).

Berdasarkan hadis tersebut, memang ada hak istri atas penghasilan suami untuk kebutuhan anak dan rumah tangga. Jika istri memiliki penghasilan sendiri, lalu digunakan untuk kebutuhan suami, anak-anak, dan rumah tangga, maka hal itu terhitung sebagai sedekah.

Kami memiliki visi dan misi yang sama dalam berumah tangga. Visi-misi yang berlandaskan Islam menjadi panduan dalam memahami tujuan bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan. Tujuan kami adalah membangun rumah tangga yang diridai Allah, agar dapat melangkah ke arah yang sama. Dalam menghadapi tantangan menuju pencapaian itu, kami saling mendukung. Manusia tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu, bila salah satu dari kami tidak selaras dengan tujuan, kami saling mengingatkan untuk memperbaiki diri agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Pencapaian tertinggi yang kami tuju adalah surga, karena menjadi penghuni surga merupakan kebahagiaan yang hakiki. Dalam Surah Muhammad ayat 15, Allah berfirman:

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِيْ وُعِدَ الْمُتَّقُوْنَ ۗفِيْهَآ اَنْهٰرٌ مِّنْ مَّاۤءٍ غَيْرِ اٰسِنٍۚ وَاَنْهٰرٌ مِّنْ لَّبَنٍ لَّمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهٗ ۚوَاَنْهٰرٌ مِّنْ خَمْرٍ لَّذَّةٍ لِّلشّٰرِبِيْنَ ۚوَاَنْهٰرٌ مِّنْ عَسَلٍ مُّصَفًّى ۗوَلَهُمْ فِيْهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ وَمَغْفِرَةٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ ۗ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِى النَّارِ وَسُقُوْا مَاءً حَمِيْمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ

“(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (anggur) yang lezat bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang disaring, serta mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka—sama dengan orang yang kekal di dalam neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya?” (QS Muhammad: 15).

Wallahualam bissawab. [My]

Baca juga:

0 Comments: