Headlines
Loading...
Proyek Deradikalisasi Pendidikan di Balik Kurikulum Cinta

Proyek Deradikalisasi Pendidikan di Balik Kurikulum Cinta

Oleh: Dhevi Firdausi, S.T.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Kementerian Agama (Kemenag) resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menteri Agama Nazaruddin Umar menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang makin mengkhawatirkan.

Sebagaimana dikutip dari laman www.pendis.kemenag.go.id, kurikulum cinta memiliki beberapa aspek, di antaranya membangun cinta kepada Tuhan, membangun cinta kepada sesama manusia apa pun agamanya, membentuk kepedulian terhadap lingkungan, dan menumbuhkan kecintaan terhadap bangsa.

Sekilas, kurikulum cinta ini tampak menawarkan gagasan yang baik. Namun, benarkah demikian? Ternyata tidak. Ada bahaya yang mengancam di balik kurikulum ini, salah satunya adalah deradikalisasi sejak dini, dengan berbagai bentuknya. Deradikalisasi merupakan proses mengubah sistem keyakinan individu menjadi lebih moderat dengan cara merangkul nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat. Kurikulum ini juga berpotensi mengajarkan generasi muslim untuk bersikap keras kepada sesama muslim, tetapi lemah lembut kepada nonmuslim.

Muslim yang hendak menerapkan syariat Islam kaffah akan diberi label radikal dan ekstrem, dimusuhi, dipersekusi, bahkan kegiatan pengajiannya dibubarkan. Padahal, Islam kaffah adalah konsep dalam agama Islam yang merujuk pada penerapan ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan seorang muslim, baik dalam aspek ibadah (hablun minallah) maupun hubungan sosial (hablun minannas). Seorang Muslim yang mengamalkan Islam kaffah tidak hanya menjalankan kewajiban ritual seperti salat, puasa, dan zakat, tetapi juga menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk perilaku, akhlak, dan interaksi sosial.

Sebaliknya, kepada masyarakat nonmuslim, mereka diperlakukan dengan sangat hormat: bersikap lembut, santun, menjaga rumah ibadah mereka, bahkan ikut meramaikan hari raya bersama. Masih segar dalam ingatan bagaimana sambutan pemerintah ketika Pastor Vatikan berkunjung ke Indonesia. Begitu hormatnya pemimpin negara dengan mayoritas penduduk Muslim ini kepada pemuka agama Nasrani tersebut, bahkan beberapa petinggi ormas Islam turut menyatakan kegembiraannya.

Sangat jelas bahwa kurikulum cinta ini berasaskan sekularisme, karena menjauhkan generasi dari aturan agama serta menjadikan akal pikiran sebagai sumber hukum atas segala sesuatu. Sekularisme adalah ideologi yang berasal dari Barat, yang kemudian disebarkan ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Ide ini mengharuskan pemisahan agama dari kehidupan. Masyarakat diharuskan membuat aturan hidup sendiri melalui perwakilan mereka di lembaga pemerintahan. Karena akal manusia memiliki keterbatasan, sekularisme hanya menghasilkan kerusakan di masyarakat.

Berbeda dengan Islam, yang merupakan agama sempurna. Risalahnya datang dari Sang Pencipta manusia, Allah Swt. Syariatnya tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga seluruh aspek kehidupan, termasuk hubungan sosial. Syariat Islam yang kaffah termuat dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. Beliau bukan hanya ahli ibadah, tetapi juga pemimpin negara yang menerapkan wahyu Allah dalam seluruh bidang kehidupan: politik, ekonomi, hingga pendidikan. Rasulullah saw. berhasil membangun peradaban Islam yang gemilang dengan kurikulum pendidikan berasaskan akidah Islam dan pembentukan karakter berkepribadian Islam. Masyarakat yang lahir dari sistem pendidikan tersebut adalah masyarakat mulia, jauh dari kemaksiatan dan kerusakan. Semua tercatat dalam kitab Sirah Nabawiyah.

Dalam pandangan Islam, sekularisme adalah ide yang rusak. Islam menetapkan bahwa kurikulum pendidikan harus berasaskan akidah Islam, karena iman adalah asas kehidupan setiap muslim. Akidah Islam pun harus menjadi dasar berdirinya negara, dan negara memiliki kewajiban menjaga akidah rakyatnya. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang berhasil membentuk para sahabat menjadi pribadi dengan keimanan yang kuat, taat syariat, lembut kepada sesama Muslim, dan tegas terhadap pelaku kemaksiatan.

Pendidikan adalah bidang strategis bagi masa depan bangsa. Jika akidah rakyat kuat, mereka akan taat sepenuhnya pada syariat Allah Swt., sehingga mampu menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Dari pendidikan yang benar, akan lahir generasi cemerlang. Sesungguhnya, seluruh permasalahan hidup telah memiliki jawabannya di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah saw. Tinggal masyarakat memilih: menerapkannya atau mengabaikannya. Jika memilih mengabaikan syariat, masalah kehidupan akan terus bermunculan, seperti yang terjadi saat ini.

Agar problematika masyarakat terselesaikan, solusinya adalah kembali pada Islam kaffah. Karakter yang demikian lahir dari sistem pendidikan berkualitas, yang menanamkan akidah dan syariat sejak dini, sehingga anak tumbuh menjadi masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., bukan malah dijejali ide deradikalisasi yang melemahkan akidah. Rasulullah saw. sebagai suri teladan telah mencontohkannya secara nyata. [An]


Baca juga:

0 Comments: