Headlines
Loading...

Oleh: Rahma Andira
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Kemerdekaan suatu bangsa identik dengan perayaan dan upacara kenegaraan. Menyanyikan lagu kebangsaan serta pengibaran bendera tak luput menjadi hal sakral sebagai tanda bangsa tersebut merdeka. Merdeka dari penjajahan fisik secara militer kerap dijadikan tolok ukur bahwa negara tersebut telah bebas.

Padahal, penjajahan itu masih berlangsung, bukan secara militer, melainkan secara pemikiran. Tidak hanya dalam pemikiran, di bidang ekonomi, moral, dan politik pun sejatinya bangsa ini masih terjajah oleh pihak asing. Secara moral, generasi bangsa ini berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Tawuran antarpelajar tak kunjung reda. Berita dari Okezone.com, Sabtu, 26 Juli 2025, melaporkan terjadinya duel dua lawan dua antara pelajar SMP dan MTs yang berujung pada tewasnya salah satu pelajar setelah terjatuh dari jembatan. Ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus kriminal yang melibatkan pelajar dan terus meningkat. Sesungguhnya, sikap hedonis, sekularis, apatis, dan gangguan kesehatan mental tengah meracuni pemikiran banyak generasi saat ini.

Bukan hanya generasi muda yang menjadi sasaran, para orang tua pun mengalami tekanan ekonomi akibat kebijakan pemerintah yang memberatkan. Di tengah lapangan pekerjaan yang sempit, rakyat juga dihimpit oleh kebijakan pajak yang mencekik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan bahwa jumlah pengangguran pada Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang, meningkat 1,11% dibandingkan Februari 2024 (Detik.com, Selasa, 6 Mei 2025). Jelaslah bahwa kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor meningkatnya angka pengangguran.

Mirisnya, degradasi moral dan sempitnya penghidupan tidak membuat masyarakat tertarik mendalami agama. Sebaliknya, banyak yang justru terjebak dalam tindak kriminalitas. Pemikiran umat Islam sudah semestinya dibangkitkan agar menjadi umat yang benar-benar merdeka.

Kemerdekaan yang Membawa Rahmatan Lil ‘Alamin

Melihat kerusakan yang terjadi, baik pada manusia maupun alam, sudah saatnya disadari bahwa kembali kepada kehendak Sang Pencipta adalah jalan yang harus ditempuh untuk keluar dari berbagai problematika kehidupan.

Dikutip dari MuslimahNews.com, penulis Iwan Januar menjelaskan tiga cara pandang terhadap kemerdekaan, yaitu:

  1. Cara pandang berpikir dangkal
    Mereka yang berpikir dangkal memaknai kemerdekaan hanya sebatas tercukupinya kebutuhan pribadi, meski sebenarnya mereka hanya memperoleh sedikit dari melimpahnya kekayaan alam yang dimiliki negeri ini akibat penjajahan sumber daya alam (SDA) oleh asing.

  2. Cara pandang berpikir mendalam
    Bagi orang yang berpikir mendalam, kemerdekaan berarti bebas dari penjajahan fisik. Namun, mereka masih menerima “kerja sama” dan “bantuan” dari pihak asing sebagai konsekuensi hubungan internasional. Padahal, inilah bentuk penjajahan gaya baru atau neokolonialisme. Akibat perjanjian dan penandatanganan kerja sama dengan investor serta perusahaan asing, rakyat dalam negeri kesulitan mencari penghidupan.

    Tanpa tuntunan wahyu, berpikir mendalam saja akan menyeret pada jurang kehancuran. Sebab, meskipun menginginkan kemerdekaan dari penjajahan fisik, mereka justru memaknai kemerdekaan dengan menolak “paksaan” ajaran agama. Misalnya, seorang siswi dianggap tidak boleh dipaksa mengenakan jilbab dan kerudung meski sudah baligh. Bahkan hawa nafsu diberikan kebebasan, seperti berzina atau melakukan hubungan seksual selama suka sama suka. Semua ini adalah buah pemaknaan kemerdekaan yang hanya mengandalkan metode berpikir mendalam semata.

  3. Cara pandang berpikir cemerlang
    Sebagai umat Islam, kita seharusnya menjadikan Islam sebagai solusi melalui cara pandang berpikir yang cemerlang. Metode ini mampu menghantarkan manusia terbebas dari penghambaan kepada sesama manusia, baik dari senjata militer maupun ideologi buatan manusia.

    Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran:

    أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ
    “Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama manusia. Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama manusia.”
    (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, V/553)

    Kemerdekaan sejati hanya akan terwujud dengan ketundukan manusia kepada Allah Swt. Bangsa Arab, misalnya, mampu menemukan kemerdekaannya ketika Islam menjadi cara hidup mereka. Para budak mendapatkan hak-haknya, dan Islam memerintahkan majikannya untuk meninggikan martabat mereka.

Dengan berpikir cemerlang berasaskan Islam, manusia akan meraih kemerdekaan sejati: tunduk hanya kepada Allah Swt. dengan segenap syariat-Nya. Pemikiran cemerlang ini membebaskan dari perbudakan terhadap hawa nafsu dan sesama makhluk, yang hingga kini membuat rakyat menjadi “babu” di negeri sendiri. Eksploitasi alam secara besar-besaran pun merupakan bentuk penjajahan gaya baru yang dilegalkan dalam konstitusi.

Karena itu, umat perlu meningkatkan kesadaran terhadap arti kemerdekaan sejati melalui cara berpikir cemerlang berasaskan Islam, agar mau berhijrah menuju sistem Islam yang membawa rahmatan lil ‘alamin.

Wallahualam bissawab. [Hz]


Baca juga:

0 Comments: