Oleh: Maya Rohmah, S.K.M.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Palestina kembali bertanya. Pertanyaan yang seakan menembus langit, merobek hati, dan menggetarkan nurani siapa pun yang masih hidup batinnya:
“Di mana umat Rasulullah?”
Di Gaza, anak-anak tumbuh dengan suara dentuman bom, bukan lantunan lagu masa kecil. Di sana, ibu-ibu memasak bukan dengan rempah yang harum, melainkan dengan doa agar secuil roti cukup untuk sekeluarga. Di sana, para ayah bukan sekadar mencari nafkah, melainkan mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan tanah air, agama, dan kehormatan.
Kita menyaksikan tubuh-tubuh kurus tinggal tulang dibalut kulit, mata yang cekung menahan lapar, wajah-wajah kecil yang sudah terlalu dini belajar arti sabar dan syahid. Pertanyaannya: sanggupkah kita menatap semua itu lalu berpaling seolah-olah tiada apa-apa?
Apakah kita masih bisa mengaku umat Muhammad saw., sementara tangisan saudara kita di Gaza tidak mengusik hati, tidak mengguncang iman, dan tidak menggerakkan langkah?
Hanya dengan Pertolongan Allah
Kita tahu, manusia tidak akan mampu menanggung derita sebesar itu tanpa pertolongan Allah. Kezaliman Zionis sudah melampaui batas kemanusiaan. Mereka memutus suplai makanan, listrik, obat-obatan, bahkan air minum dengan satu harapan: menghapus bangsa Palestina dari muka bumi.
Namun, mereka lupa bahwa hidup dan mati bukan di tangan Zionis. Hidup dan mati di tangan Allah. Maka, tubuh-tubuh rapuh di Gaza tetap berdiri. Bayi-bayi tetap lahir. Azan tetap dikumandangkan. Salat tetap ditegakkan.
Ini bukan semata kekuatan fisik. Ini adalah kekuatan ruhiyah yang Allah anugerahkan hanya kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Mereka adalah bukti nyata firman Allah:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan, mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali Imran: 169)
Palestina hidup karena Allah menjaganya. Tetapi, pertanyaannya kembali menggema:
“Di mana umat Rasulullah?”
Hati yang Masih Hidup Akan Tergerak
Untuk urusan kemanusiaan, tak perlu menjadi muslim untuk peduli. Orang-orang nonmuslim pun banyak yang tergerak hatinya melihat derita Palestina. Mereka memenuhi jalanan dengan spanduk, menyalurkan bantuan, bahkan ada yang rela kehilangan pekerjaannya demi membela Palestina.
Jika mereka yang tidak mengenal Rasulullah saw. saja bisa peduli, maka bagaimana dengan kita yang setiap hari mengucap selawat untuk beliau? Bagaimana dengan kita yang mengaku mencintainya, sementara kita berpangku tangan melihat penderitaan umatnya?
Rasulullah saw. bersabda:
“Perumpamaan kaum mukmin dalam saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Kalau Palestina berdarah, seharusnya kita pun merasa sakit. Kalau Palestina menangis, air mata kita pun semestinya jatuh. Kalau Palestina disakiti, semestinya kita pun bergejolak. Sebab kita satu tubuh, satu iman, satu kalimat syahadat.
Luka Palestina adalah Luka Umat
Saudaraku, jangan pernah berpikir bahwa tragedi Palestina hanya urusan mereka. Itu adalah urusan kita. Luka mereka adalah luka umat. Dan luka ini tidak akan sembuh hanya dengan doa tanpa tindakan, tidak akan berhenti hanya dengan kecaman tanpa kekuatan.
Zionis tidak gentar dengan kecaman. Mereka tuli terhadap resolusi. Mereka mati rasa terhadap tekanan dunia. Satu-satunya yang mereka takutkan adalah persatuan umat Islam. Persatuan itulah yang kini mereka takutkan bangkit.
Maka, ketika Palestina bertanya, “Di mana umat Rasulullah?”, sebetulnya yang mereka rindukan adalah kebangkitan umat Islam yang bersatu. Umat yang tak lagi tercerai-berai oleh batas negara, politik sempit, dan kepentingan duniawi. Umat yang menjawab panggilan jihad dengan tegap, dengan satu bendera, dengan satu komando, dengan khilafah yang tegak.
Menjawab Panggilan Palestina
Lalu, apa sikap terbaik kita sekarang?
Apakah cukup dengan menangis melihat berita?
Apakah cukup dengan membagikan postingan di media sosial?
Apakah cukup dengan sekadar doa di malam hari?
Tidak. Kita harus lebih dari itu!
Palestina seharusnya menjadi cermin bagi kita. Cermin yang menyingkap rasa malu karena lalai dalam ibadah, dan cermin yang menyadarkan betapa sibuknya kita mengejar dunia, sementara mereka mengorbankan jiwa demi meraih akhirat.
Kita harus menjadikan Palestina sebagai pengingat bahwa persatuan umat bukan pilihan, melainkan kewajiban. Bahwa perjuangan menegakkan syariat Islam, jihad, dan khilafah bukan sekadar wacana, melainkan jalan untuk memuliakan agama Allah.
Dan kita harus memulai dari diri kita. Bangkitkan iman, perbaiki amal, kokohkan ukhuwah, jangan biarkan perbedaan remeh-temeh memecah kita. Sebab musuh kita satu, dan Palestina sedang menunggu jawaban kita.
Jawablah!
Jangan sampai kita menjawab dengan diam. Jangan sampai kita menjadi generasi yang Allah murkai karena berpaling dari penderitaan umat. Jangan sampai kita disibukkan dengan urusan dunia hingga melupakan amanah besar ini.
Mari kita jawab dengan iman, dengan amal, dengan persatuan, dengan jihad yang hakiki. Mari kita jawab dengan tekad bahwa kita adalah umat Rasulullah yang tidak akan pernah meninggalkan saudaranya.
Sebab Palestina bukan sekadar tanah. Palestina adalah kehormatan Islam. Palestina adalah kiblat pertama kita. Palestina adalah bagian dari tubuh kita.
Dan selama darah kita masih mengalir, selama iman kita masih bersemayam, maka pertanyaan itu tidak boleh lagi terdengar tanpa jawaban.
“Wahai Palestina, kami umat Rasulullah akan datang. Kami tidak akan diam. Kami akan menjawab panggilanmu dengan persatuan umat!” [Hz]
Baca juga:
0 Comments: