Pendidikan Kapitalis Gagal Mencetak Generasi Emas
Oleh. Hidayah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Di tengah arus modernisasi, kondisi pelajar dan remaja Indonesia semakin mengkhawatirkan. Rendahnya pemahaman, lemahnya tanggung jawab, dan kemerosotan moral menjadi potret nyata yang sulit diabaikan. Salah satu tragedi memilukan terjadi di Garut, ketika seorang siswa SMA diduga mengakhiri hidupnya akibat perundungan. Peristiwa ini bukan hanya menyentak nurani, tetapi juga membuka tabir rapuhnya sistem pendidikan kita (kabargarut.pikiran-rakyat.com, 16/07/2025).
Alih-alih melakukan pembenahan mendasar terhadap sistem penilaian dan integritas pendidikan, pemerintah justru mengambil langkah reaktif yang tidak menyentuh akar persoalan. Kebijakan penghapusan nilai rapor dan penggantian dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA) seolah menjadi solusi instan, padahal tidak menjamin objektivitas selama sistem kapitalisme sekuler tetap menjadi fondasi kebijakan. Dalam sistem ini, guru tidak lagi dipandang sebagai pembimbing yang mendidik dengan hati, melainkan sekadar pelaksana teknis yang tunduk pada mekanisme birokratis.
Pergantian kebijakan tanpa perubahan paradigma hanya melahirkan masalah baru. Kecurangan tetap terjadi, bahkan manipulasi identitas peserta ujian pun bukan hal asing. Ketika ketakwaan tidak menjadi landasan, dan masyarakat terbiasa dengan pelanggaran, maka sistem pendidikan akan terus terjebak dalam lingkaran korupsi dan ketidakadilan. Kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai proyek segelintir elite, bukan sebagai sarana membangun peradaban.
Dalam sistem kapitalis, negara cenderung menarik diri dari tanggung jawab pendidikan. Peran utama diserahkan kepada swasta dan mekanisme pasar, menjadikan pendidikan sebagai komoditas semata. Akibatnya, muncul ketimpangan akses, rusaknya fasilitas, dan kualitas yang tidak merata. Ketika orientasi pendidikan bergeser pada keuntungan, maka pembangunan karakter dan potensi peserta didik menjadi terabaikan. Korupsi merajalela, birokrasi tidak efektif, dan kepentingan politik-ekonomi mengaburkan esensi pendidikan itu sendiri.
Peta jalan pendidikan yang seharusnya menjadi panduan menuju visi besar justru terkesan formalitas belaka. Tanpa paradigma yang benar, kebijakan hanya berganti nama tanpa arah yang jelas. Padahal, pendidikan membutuhkan sistem yang terjaga dan berpijak pada nilai-nilai luhur, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dalam peradaban Islam.
Berbeda dengan kapitalisme, sistem pendidikan Islam dalam naungan Khilafah menjadikan pendidikan sebagai hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Negara hadir aktif sebagai pelayan umat, menyediakan fasilitas pendidikan secara gratis mulai dari gedung sekolah, laboratorium, perpustakaan, hingga transportasi siswa. Semuanya akan dibiayai oleh Baitulmal melalui pos kepemilikan umum, fai, dan kharaj.
Pendidikan dalam Islam dibangun atas dasar akidah, mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan siap memikul tanggung jawab peradaban. Sistem ini menutup celah privatisasi dan komersialisasi, serta menghapus ketimpangan sosial yang tumbuh subur dalam kapitalisme. Negara tidak bersikap minimalis, melainkan sungguh-sungguh menjaga kualitas dan pemerataan pendidikan.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam, pendidikan bukan sekadar layanan, tetapi amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab oleh negara. Dengan sistem ini, pendidikan menjadi sarana membentuk generasi berilmu, bertakwa, dan berperan aktif dalam membangun peradaban yang mulia. [MA]
Baca juga:
0 Comments: