Penderitaan Gaza Bukti Malapetaka Runtuhnya Khilafah
Oleh: Siti Aminah
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Apa yang kita rasakan saat berpuasa? Tentu rasa lapar itu ada. Pernahkah kita merasakan atau membayangkan jika tidak makan selama dua hari saja, misalnya? Lapar yang sangat bisa membuat tubuh kita lemas.
Namun, saudara kita di Palestina bukan hanya tidak makan sehari atau dua hari. Bahkan, sudah berbulan-bulan mereka tak merasakan nikmatnya makanan yang cukup. Tubuh mereka pun tinggal tulang yang menonjol. Air bersih, yang merupakan sumber kehidupan, juga tak tersedia. Hal itu memang diagendakan secara sistematis oleh Zionis Israel: genosida dengan cara pelaparan. Bantuan makanan dan logistik dari negara lain dilarang masuk.
Sejak Gaza Humanitarian Foundation (GHF) beroperasi pada akhir Mei 2025, lebih dari 1.000 warga Gaza tewas dan ribuan lainnya terluka di lokasi distribusi akibat tembakan tentara Israel dan kontraktor swasta yang dikendalikan oleh AS (Tirto.id, 1-8-2025).
Seiring berjalannya waktu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan akan mengambil alih kendali militer wilayah Gaza dan menyerahkan pemerintahan Gaza kepada negara Arab, meskipun belum jelas negara yang dimaksud (Beritasatu.com, 8-8-2025).
Mendengar rencana jahat itu, kecaman kepada Israel datang dari berbagai negara. Kemenlu Turki, misalnya, menyebut langkah tersebut sebagai genosida dan ancaman serius bagi perdamaian serta keamanan dunia. Kecaman juga datang dari Australia, Indonesia, dan negara lainnya.
Namun, dalam pernyataan terbaru, Zionis Israel dengan tegas menolak kritik dan kecaman itu. Bahkan, Menteri Pertahanan Israel, Katz, mengatakan, “Hal itu tidak akan melemahkan tekad kami.” Meski begitu, laporan media Israel mengindikasikan adanya ketidaksepakatan antara Netanyahu dengan petinggi militer serta rakyatnya (BBC News Indonesia, 8-8-2025).
Selama ini berbagai upaya untuk membebaskan saudara kita di Palestina—seperti kecaman, boikot produk yang berafiliasi dengan Israel, pengiriman bantuan makanan dan logistik, aksi kemanusiaan (bahkan dari sebagian non-muslim), serta doa yang senantiasa kita panjatkan—belum juga mampu membebaskan Palestina dan meluluhlantakkan Zionis Israel.
Bahkan negeri muslim terdekat, seperti Mesir, tidak mau sekadar membuka pintu Rafah sebagai jalur bantuan, apalagi mengirimkan militer. Padahal, jika mau, hal itu bisa dilakukan.
Dulu, warga Gaza masih menaruh harapan kepada kita, umat Islam saudaranya. Namun, hingga hari ini kita tak mampu memberi harapan itu, bahkan belum bisa menghentikan kebrutalan Zionis. Dari pernyataan mereka, tampak jelas kekecewaan yang mendalam. Mereka marah, terlebih kepada para pemimpin muslim yang hanya basa-basi, sekadar melontarkan hujatan dan kecaman tanpa aksi nyata. Mereka bukan hanya marah, bahkan sudah menganggap kita sebagai lawan di hadapan Allah karena diamnya umat Islam, terutama para pemimpin muslim yang berdiam diri padahal memiliki militer.
Beginilah kondisi umat Islam, seperti anak ayam kehilangan induknya. Anak-anak ayam itu berteriak-teriak tanpa ada yang melindungi. Bahkan, mereka semakin disukai pemangsanya karena induknya—yakni Khilafah—telah dihancurkan lebih dulu dengan pedang bernama nasionalisme yang asasnya sekuler.
Para pemimpin muslim lebih rela menaati Amerika dan Israel daripada menaati Allah untuk menolong saudaranya. Bukankah sesungguhnya kaum muslim itu bersaudara?
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sesama muslim adalah saudara. Tidak boleh saling menzalimi, mencibir, atau merendahkan …”
Maka, haram bagi kita membiarkan mereka dizalimi dan dihancurkan.
Jika selama ini upaya yang dilakukan belum menunjukkan hasil, maka harus ada aksi nyata. Jika Palestina diperangi dengan militer, maka selayaknya juga harus dilawan dengan pengerahan militer, yakni jihad yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Sayangnya, banyak umat Islam yang belum memahami Islam sebagai solusi. Belum ada kesadaran umat Islam untuk bersatu menolong saudaranya. Padahal, bukan hal yang mustahil jika kelak umat Islam bersatu. Hal itu sudah dijanjikan Allah melalui lisan mulia Rasulullah SAW.
Yang perlu kita lakukan adalah belajar mengkaji Islam secara kāffah, kemudian membagikan informasi yang benar terkait Palestina. Zionis Israel harus diperangi, dan Palestina harus dibela secara nyata. Selanjutnya, mendakwahkan Islam kāffah agar umat semakin sadar pentingnya kesatuan dan memahami bahwa malapetaka terbesar umat Islam (dan umat manusia secara umum) saat ini adalah runtuhnya Khilafah.
Masih ingatkah kita kisah seorang budak muslimah yang sedang berbelanja di pasar lalu dilecehkan tentara Romawi? Mereka mengikat pakaian wanita itu dengan paku hingga tersingkap auratnya. Maka ia pun berteriak: “Di mana engkau, Mu‘tasim Billah? Tolonglah aku!”
Setelah laporan itu sampai, Khalifah pun menurunkan puluhan ribu tentara untuk menyerang Ammuriah (Turki).
Diriwayatkan, panjangnya pasukan itu tidak terputus dari gerbang istana Khalifah di Baghdad hingga kota Ammuriah, saking banyaknya tentara. Islam pun unggul dan disegani dunia.
Inilah bukti bahwa jika umat Islam memiliki Khilafah, bahkan seorang budak muslimah pun akan dilindungi. Sebab, nyawa seorang muslim saja sangat dijaga oleh Islam.
Maka, keadaan umat Islam yang tertindas dan tersingkir ini adalah malapetaka runtuhnya Khilafah pada 3 Maret 1924 M. Tidaklah kita ingin dilindungi dan merindukannya?
Wallahualam bissawab. [ry]
Baca juga:
0 Comments: