Oleh. Emniswati
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — “Tak ada pertemuan yang kebetulan. Semua sudah digariskan Tuhan. Bahkan pelukan dari orang asing bisa menjadi pesan Ilahi yang mengetuk hati.”
— Emniswati
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat."
(QS Al-Hujurat: 10)
Di tengah lautan manusia yang bersujud dan berdzikir di Masjidil Haram, aku hanyalah setitik debu yang tak bernama. Namun hari itu, aku merasa sangat istimewa. Dalam derasnya arus umat yang menanti iqamah salat Magrib, Allah mempertemukanku dengan seorang hamba-Nya yang tak kukenal. Hangatnya pelukan dan pesan yang ia sampaikan masih membekas hingga kini.
Ia datang dengan senyum ramah, menatapku penuh kedamaian, lalu mengulurkan tangan sambil menyapa, “Assalamu’alaikum.” Dalam bahasa Inggris yang sederhana, ia menanyakan dari mana aku berasal. Lalu, dengan suara lembut penuh harap, ia berkata:
"Please, pray a lot for our brothers and sisters in Gaza. And help them with whatever you can."
Tolong banyak-banyaklah berdoa untuk saudara-saudari kita di Gaza, dan bantu mereka dengan apa pun yang kamu bisa.
Aku tercekat. Ada gemuruh dalam dada. Seolah pesan itu bukan hanya datang dari mulutnya, tetapi dari langit yang mengutusnya. Spontan, kutunjukkan grup donasi dan komunitas menulis yang selama ini kami bangun sebagai bentuk simpati dan ikhtiar membantu saudara-saudara kita di Palestina. Kutunjukkan pula beberapa karya tulisanku yang bertujuan membangkitkan empati.
Ia tersenyum, lalu memelukku erat. Matanya berkaca-kaca, bibirnya tak henti mengucapkan, “Thank you … thank you …”
Pelukan itu…
Ciuman lembut di kening dan pipiku…
Doa-doa yang ia bisikkan…
Semua masih hangat terasa hingga hari ini.
Tak ada dokumentasi. Tak ada foto yang kami abadikan. Saat itu, iqamah Magrib telah dikumandangkan, dan kami larut dalam panggilan-Nya. Namun kisah itu terpatri abadi dalam hatiku—lebih kuat dari bingkai kamera mana pun.
Mungkin itu hanya momen sesaat. Mungkin ia hanyalah satu dari jutaan manusia di tanah suci. Tapi aku percaya, tak ada pertemuan yang sia-sia di bawah langit Allah. Ia datang membawa pesan, dan aku hanyalah perantara yang dititipi amanah untuk menyampaikannya—melanjutkan estafet cinta itu.
Usai salat Magrib, aku kembali duduk di samping ibuku. Beliau memandangku dengan tatapan heran.
“Kamu kenal sama dia?” tanyanya pelan.
Aku tersenyum. “Tidak, Bu. Tidak sama sekali.”
Ibuku mengangguk pelan, lalu bertanya, “Tapi kenapa dia memanggilmu salat di sampingnya dan memelukmu begitu hangat… seperti sudah kenal lama?”
Aku memandangi wajah keibuan itu—penuh cinta dan tanda tanya.
“Mungkin karena doa Ibu dan izin Allah. Tidak ada yang mustahil saat Allah yang mempertemukan,” jawabku pelan sambil memeluk Ibu penuh haru.
Ibuku tersenyum sambil menggenggam tanganku erat. Tak ada kata lanjut, hanya genggaman itu yang bercerita banyak. Seolah ada doa yang beliau alirkan dalam diam—lantunan harap yang ia bisikkan di pelataran Ka’bah.
Perempuan asing itu pun memastikan aku sudah mendoakan semua nama yang menitipkan harap: sahabat, teman, sanak saudara, adik-kakak, anak-anak, dan tetangga. Aku hanya mengangguk, dan ia tersenyum lebar. Cahaya matanya menembus kalbuku, memberi rasa hangat yang tak mampu kulukiskan.
Meskipun keterbatasan bahasa membatasi banyak hal, ia tetap bercerita lewat pelukan dan tatapan. Bahasa kasih sayang memang tak selalu butuh kata. Ia berbicara lewat getaran hati, dan aku menjawab dengan keheningan yang penuh makna.
Pertemuan itu hanya berlangsung sekejap. Namun kesan dan pesan yang ia tinggalkan menetap dalam jiwaku. Allah kirimkan pelukan itu bukan sekadar untuk menyentuh tubuhku, melainkan untuk mengguncang nuraniku—mengingatkanku bahwa Palestina bukan sekadar berita. Ia adalah luka umat, dan kita tak boleh lelah menyuarakan serta membantu.
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi adalah seperti satu tubuh. Apabila satu bagian tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam."
(HR Bukhari dan Muslim)
Malam itu, aku memandang Ka’bah dengan mata berkaca-kaca. Ada haru, ada rindu, ada semangat baru. Aku memeluk Ibu lebih erat. Dalam hatiku, aku berjanji untuk tidak pernah berhenti menjadi suara bagi yang tak bersuara, menjadi tangan yang mengulurkan bantuan walau kecil, dan menjadi pena yang terus menulis demi hati yang terluka.
"Mungkin aku tak tahu namanya, tak tahu dari mana asalnya. Tapi aku tahu pasti: ia adalah utusan cinta dari langit yang membisikkan kembali rasa kemanusiaan dalam dadaku."
— Emniswati
Pelalawan, 6 Agustus 2025
Baca juga:
0 Comments: