Headlines
Loading...
Di Balik Maraknya Kejahatan, Tanda Kegagalan Sistem

Di Balik Maraknya Kejahatan, Tanda Kegagalan Sistem

Oleh: Siti Fatima
(Mahasiswi, Aktivis Dakwah)

SSCQMedia.Com — Maraknya kasus pelecehan seksual di berbagai ruang, baik fisik maupun digital, menandakan bahwa kondisi lingkungan saat ini tidak benar-benar aman. Perempuan maupun laki-laki dapat menjadi korban, tanpa memandang usia atau latar belakang.

Di Lampung, misalnya, terjadi kasus sodomi yang menimpa remaja berusia 15 tahun. Pelakunya adalah mantan guru honorer berinisial HS, berusia 49 tahun. Parahnya, aksi bejat tersebut dilakukan di musala setempat (okezone.com, 7-8-2025).

Penanganan hukum atas kasus-kasus seperti ini masih sering menimbulkan pertanyaan. Banyak korban tidak mendapat perlindungan yang layak, sementara pelaku justru dapat lolos dari jeratan hukum atau memperoleh hukuman ringan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa keadilan belum sepenuhnya ditegakkan.

Padahal, peran aparat penegak hukum sangat penting dalam menangani kasus pelecehan seksual yang terjadi di tengah masyarakat. Untuk memahami tanggung jawab mereka, penting merujuk pada dasar hukum yang mengatur tugas kepolisian. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian, tugas utama polisi adalah memelihara keamanan dan ketertiban serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Sikap pasif dapat dianggap sebagai kelalaian atau abuse of discretion (suara.com, 1-8-2025).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa polisi adalah institusi yang bertugas melindungi masyarakat sekaligus menjadi tempat pengaduan atas berbagai bentuk ketidakadilan, termasuk kasus pelecehan seksual. Namun, realitas hari ini jauh dari harapan. Tidak semua masyarakat mendapatkan perlakuan yang sama ketika ingin melaporkan kejahatan yang mereka alami. Mereka yang tidak memiliki uang, kuasa, atau akses sering kali terhambat langkahnya. Proses pelaporan menjadi lambat, bahkan dalam banyak kasus, diabaikan begitu saja.

Mirisnya, ketika pelaku sudah dilaporkan dan sempat ditahan, tidak jarang mereka dengan mudah dibebaskan karena faktor uang atau pengaruh. Sementara itu, korban masih berjuang memulihkan luka batin dan trauma, di saat keadilan belum benar-benar berpihak padanya. Banyak masyarakat beranggapan bahwa hukum cenderung berpihak pada mereka yang mampu “membayar”, bukan pada kebenaran itu sendiri. Fenomena ini membuat korban merasa tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya.

Rasa tidak aman kini semakin meluas. Dulu kita menganggap perempuan sebagai kelompok rentan atas pelecehan, namun saat ini laki-laki pun mengalami hal yang sama. Kasus pelecehan seksual tidak lagi memandang jenis kelamin. Pelecehan bisa terjadi antara sesama jenis, terhadap anak-anak, bahkan terhadap orang dewasa. Nafsu telah membutakan batas-batas moral, bahkan di tempat yang seharusnya menjadi lingkungan aman seperti sekolah, rumah ibadah, atau pesantren.

Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku pelecehan tidak jarang berasal dari kalangan terpelajar atau tokoh masyarakat: dokter yang melecehkan pasiennya, dosen yang mengintip mahasiswinya, bahkan tokoh agama yang menyalahgunakan kepercayaan santrinya. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi tidak otomatis menjamin kemuliaan akhlak.

Di tengah krisis ini, negara seolah tidak memberikan perlindungan yang tegas. Atas nama hak asasi dan kebebasan individu, hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan atas dasar suka sama suka justru dianggap bukan pelanggaran hukum. Bahkan ketika fenomena kehamilan remaja makin marak, solusi yang ditawarkan hanya sebatas penyediaan alat kontrasepsi, seolah negara memberi lampu hijau pada praktik hubungan di luar pernikahan, asalkan tidak menimbulkan “masalah baru” seperti kehamilan.

Fenomena ini menjadi tanda bahaya bagi masa depan moral dan perlindungan hukum masyarakat. Ketika rasa aman hilang, ketika pelecehan dianggap wajar selama tidak ada yang merasa keberatan, dan ketika negara lebih sibuk mengatur konsekuensi ketimbang mencegah akar masalah, maka masyarakat yang tidak memiliki kuasa akan terus menjadi korban yang diabaikan. Ketika hukum dipisahkan dari nilai-nilai Islam, maka hasilnya adalah ketidakadilan yang terus berulang.

Melihat kondisi saat ini, di mana keadilan sulit dirasakan oleh masyarakat kecil, korban pelecehan dibiarkan, dan hukum seperti tunduk pada uang dan kuasa, jelas bahwa sistem yang berlaku sekarang tidak mampu memberikan perlindungan yang adil dan merata. Banyak kasus pelecehan seksual yang mandek, pelaku bebas, sementara korban terus menanggung luka dan trauma. Ini bukan hanya soal aparat, melainkan persoalan rusaknya sistem hukum dan sosial yang berdiri di atas asas kebebasan dan sekularisme.

Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang terbukti menjamin kehormatan, keadilan, dan keamanan, yaitu penerapan Islam secara kafah. Islam bukan hanya agama ritual, tetapi sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk perlindungan terhadap korban dan penindakan tegas bagi pelaku kejahatan seksual.

Jika kita ingin keluar dari krisis moral dan keadilan yang tak kunjung selesai, kita tidak boleh sekadar mengeluh atau hanya menuntut perubahan kecil. Kita harus kembali pada penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, dengan tegaknya Khilafah ala Minhaj an-Nubuwwah sebagai sistem yang menjamin perlindungan, keamanan, dan keadilan sejati bagi seluruh umat manusia. 

Wallahu a’lam bish-shawab. [ry]


Baca juga:

0 Comments: