Oleh: Trianon Wijanarti
(Aktivis Muslimah Ngaglik, Sleman, DIY)
SSCQMedia.Com — Badan Pusat Statistik (BPS) telah melaporkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 23,85 juta orang (8,47%), menurun 0,21 juta orang dari data September 2024 dan menurun 1,37 juta orang dibanding Maret 2024 (bps.go.id, 25/07/2025).
BPS menyatakan, tingkat kemiskinan di perkotaan meningkat dari 6,66% atau setara 11,05 juta jiwa pada September 2024 menjadi 6,73% atau setara 11,27 juta jiwa pada Maret 2025. Sementara itu, jumlah penduduk miskin di perdesaan justru menurun dari 11,34% atau setara 13,01 juta jiwa pada September 2024 menjadi 11,03% atau setara 12,58 juta jiwa pada Maret 2025 (Beritasatu.com, 25/07/2025).
Pada Maret 2025, BPS menetapkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau setara sekitar Rp20.305 per hari. Di perkotaan, angka garis kemiskinan mencapai Rp629.561 per kapita per bulan atau naik 2,24% dari September 2024. Sementara di perdesaan, garis kemiskinan berada di angka Rp580.349 per kapita per bulan, naik 2,42% dari periode sebelumnya (cnnindonesia.com, 25/07/2025).
Meskipun BPS menyatakan adanya penurunan angka kemiskinan, sejatinya hal tersebut hanyalah progres semu berdasarkan data statistik. Faktanya, masih terdapat 23,85 juta penduduk miskin di negeri ini. Jumlah tersebut tidaklah sedikit dan seharusnya tidak diabaikan oleh pemerintah. Maka, tidak layak jika laporan BPS tersebut dianggap sebagai keberhasilan pemerintah dalam menurunkan kemiskinan, sementara kenyataannya jumlah penduduk miskin secara umum terus mengalami peningkatan.
Jika ditelaah, penyebab kemiskinan di negeri ini bersifat struktural. Dalam sistem kapitalisme, negara menjamin kebebasan kepemilikan, di mana individu, swasta, atau korporasi besar diberi hak untuk memiliki atau menguasai sumber daya alam. Akibatnya, kekayaan hanya berputar di segelintir orang, sedangkan mayoritas rakyat hidup dalam kemiskinan. Jurang kesenjangan antara kaya dan miskin pun semakin lebar. Inilah akar mula terjadinya kemiskinan.
Selain itu, sistem kapitalisme menerapkan ekonomi pasar bebas dengan prinsip menekan biaya produksi sekecil mungkin demi keuntungan sebesar-besarnya. Sistem ini melegalkan monopoli atas kebutuhan pokok oleh individu atau korporasi. Akibatnya, banyak usaha kecil dan menengah gulung tikar karena tidak bersaing dengan perusahaan besar yang menguasai pasar. Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pun tak terelakkan, pengangguran meningkat, dan kemiskinan semakin parah. Kalaupun kapitalisme berhasil meningkmatkan produksi, faktanya sistem ini gagal dalam klub pemerataan distribusi kekayaan. Tidak mengherankan jika kemiskinan menjadi keniscayaan di negara yang menganut sistem ini.
Alih-alih mencari solusi tuntas untuk mengatasi kemiskinan dan menyejahterakan rakyat, pemerintah justru membiarkan masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara juga tidak mampu menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis secara merata. Pemerintah bahkan bermain dengan angka statistik dengan mengadopsi Purchasing Power Parity (PPP) buatan lembaga internasional sebagai ukuran kemiskinan. Solusi yang ditawarkan pun hanya bersifat jangka pendek, seperti pemberian bantuan langsung tunai (BLT), mendirikan sekolah rakyat, atau program makan bergizi gratis, yang tidak menyentuh akar masalah.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, di mana negara bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan hidup masyarakat, mulai dari pangan, sandang, dan papan, dengan harga terjangkau dan akses mudah. Pemerintah juga menyediakan pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi seluruh km dan menjadikan Baitulmal sebagai pusat pengelolaan keuangan negara. Islam mengatur kepemilikan menjadi tiga:
-
Kepemilikan individu, diperoleh dari bekerja, warisan, pemberian harta negara kepada rakyat, atau hibah.
-
Kepemilikan umum, meliputi sumber daya alam yang jumlahnya besar dan vital, seperti tambang, air, laut, padang gembalaan, dan hutan. Kepemilikan umum haram dimiliki oleh individu, swasta, atau asing, dan harus dikelola negara. Hasilnya disimpan di Baitulmal untuk kemaslahatan rakyat secara adil dan merata, tanpa dikomersialkan.
-
Kepemilikan negara, berasal dari sumber seperti jizyah, kharaj, fa’i, seperlima rikaz, dan zakat. Seluruh pemasukan ini dikelola negara untuk membiayai kebutuhan rakyat secara transparan.
Dengan pembagian kepemilikan yang jelas dan benar, sistem ekonomi Islam hanya bertumpu pada sektor riil, bukan sektor non-riil yang spekulatif. Insya Allah, krisis ekonomi dapat dihindari. Terlebih, Indonesia yang kaya sumber daya alam, jika dikelola dengan sistem ekonomi Islam, akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan primer, bahkan sekunder dan tersier seluruh rakyatnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab. [MA]
Baca juga:
0 Comments: