Merdeka Sejati: Bebas dari Jerat Kapitalisme
Oleh. Cucu
(Pegiat Literasi)
SSCQMedia.com—Seorang ayah merenung, menangis, menjerit dalam hati ketika melihat anaknya meminta makan, sementara istrinya terbaring sakit. Hatinya hancur, tubuh lemah, bibir membisu tanpa kata. Air mata terus menetes membasahi pipinya.
Dalam hati ia berdoa lirih:
“Ya Allah, di manakah Engkau? Apa yang harus saya lakukan? Saya seorang kepala rumah tangga yang harus mempertanggungjawabkan semuanya di hadapan-Mu.”
Ia mencoba bangkit, memotivasi diri untuk terus berikhtiar demi anak dan istri. Setiap hari ia berjualan sebagai pedagang asongan. Kadang mendapat keuntungan, kadang modal pun tak kembali. Hidup layak terasa sulit, apalagi daya beli masyarakat kian menurun. Dengan dua anak kecil, ia sering harus berpuasa demi menekan biaya hidup.
Pendidikan rendah dan lapangan kerja yang sempit semakin menambah beban. Padahal janji Allah Swt. jelas:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚإِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗوَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
(QS. An-Nur: 32)
Namun, kenyataannya hidup tetap terasa berat. Sang ayah bertanya-tanya, “Siapa yang salah, Ya Allah? Aku sudah bekerja dan berikhtiar, tapi mengapa kebutuhan hidup tetap tak terpenuhi?”
Dengan tubuh lelah dan dagangan menumpuk, ia menepi ke sebuah masjid yang sedang ada kajian muslimah. Tanpa malu ia duduk di teras, mengistirahatkan tubuh, keringat bercucuran, air mata menetes. Dari pengeras suara terdengar penjelasan ustazah:
Kemiskinan saat ini bukan sekadar masalah individu, melainkan kemiskinan struktural. Akar persoalannya ada pada sistem ekonomi yang diterapkan.
Dalam kitab Iqtishad karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa ekonomi Islam memiliki tiga pilar utama: Pertama, kepemilikan. Islam mengatur kepemilikan dalam tiga kategori—milik umum, milik negara, dan milik pribadi. Semua dikelola agar adil dan merata, bukan untuk segelintir orang.
Kedua, larangan riba. Negara wajib menjauhkan umat dari praktik riba agar tidak terjebak utang berbunga yang menjerat.
Ketiga, pelayanan negara bagi rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar rakyat—sandang, pangan, papan. Rasulullah Saw. menegaskan, pemimpin adalah pelayan rakyat.
Dengan sistem Islam, negara menyediakan lapangan kerja, memfasilitasi rakyat, dan menjamin kesejahteraan keluarga.
Kapitalisme adalah aturan buatan manusia yang penuh keterbatasan. Ia menciptakan ketimpangan, menimbulkan jurang kaya-miskin, dan menjadikan rakyat korban.
Solusi sejati hanya ada pada Islam—sistem yang pernah menyejahterakan umat selama 13 abad.
Mendengar penjelasan itu, sang ayah bangkit, melanjutkan jualannya sambil berbisik:
“Ya Allah, ternyata ini bukan soal siapa yang salah. Aku harus berjuang menegakkan syariat-Mu. Mulai hari ini aku berazam untuk belajar dan memperjuangkan hukum-hukum-Mu.”
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, tetapi jerat kapitalisme masih membelenggu. Maka, merdeka sejati hanya akan terwujud bila syariat Allah kembali tegak di tengah kehidupan.
Wallahualam bissawab. [My]
Baca juga:

0 Comments: