Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com —Langit sore itu tampak sendu. Mega merah menggantung di ufuk barat, seakan ikut berduka menyaksikan keadaan umat Islam yang terpuruk. Di sebuah serambi masjid yang sederhana, seorang pemuda bernama Ziyad duduk termenung. Matanya memandang kosong halaman yang terbuka, mushaf Al-Qur’an dalam genggamannya.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Ziyad?” tanya Ustaz Hamzah, seorang alim yang dihormati di kampung itu.
Ziyad menarik napas panjang. “Ustaz… hati saya perih melihat saudara kita terpecah belah, terjajah kapitalisme sekuler, dan jauh dari penerapan Islam secara kaffah.”
“Di Palestina, genosida terjadi setiap hari, disertai upaya pelaparan oleh Zionis dengan membatasi dan menahan bantuan kemanusiaan. Di bawah reruntuhan bangunan, tangis anak-anak terdengar pilu. Seorang ibu memeluk jasad bayinya yang dingin, tubuh mungil itu tak lagi bergerak.
Di Myanmar, mereka diusir dari negaranya bahkan banyak yang dibantai, sampai saat ini terkatung-katung mencari suaka.
Di Afrika, jutaan Muslim kelaparan, sementara di negeri-negeri kaya sumber daya, rakyatnya menderita akibat penjajahan ekonomi dan politik.
Di sudut-sudut dunia yang lain, kaum Muslimin terjebak dalam kemiskinan, kebodohan, perpecahan, dan krisis moral.
Padahal, mereka adalah umat yang diwarisi risalah agung. Namun, kini Islam hanya ditempatkan di sudut-sudut masjid, sebatas urusan ibadah ritual, sementara hukum Allah diabaikan dalam mengatur kehidupan.”
Ustaz Hamzah tersenyum pahit. “Kita pernah, Ziyad. Bahkan menjadi mercusuar peradaban dunia. Dari masa Rasulullah saw. hingga Khilafah Utsmaniyah, Islam diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan: ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan hukum. Itulah masa ketika umat ini berada di puncak kejayaan.
Namun, saat Islam hanya ditempatkan di ruang privat dan ritual ibadah, kita pun jatuh. Inilah harga yang harus dibayar ketika meninggalkan penerapan Islam secara kaffah.”
Ziyad menunduk. Kata-kata itu menusuk relung hatinya.
“Ziyad, Allah sudah memberi kita janji dalam firman-Nya,” lanjut Ustaz Hamzah sambil membuka mushaf ke Surah An-Nur ayat 55:
وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ...
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (QS. An-Nur: 55).
“Janji ini bukan sekadar dongeng masa lalu, Ziyad. Janji Allah pasti benar. Tapi ada syaratnya: akidah dan iman yang lurus serta amal saleh yang sesuai syariat.”
Ziyad mengangguk pelan. “Lalu, dari mana kita memulai?”
Ustaz Hamzah menjawab mantap, “Dari kebangkitan pemikiran. Rasulullah saw. memulai dakwahnya dengan membangun akidah Islam yang kuat yang diajarkan kepada para sahabat. Ketika akidah mengakar, perilaku akan terarah sesuai syariat.
Inilah yang akan melahirkan generasi tangguh yang siap mengembalikan kemuliaan umat. Kebangkitan itu dimulai dari dirimu, keluargamu, masyarakatmu, dan akhirnya didukung oleh sistem negara yang berpijak pada hukum Allah.”
Mata Ziyad berbinar. Ia teringat satu ayat yang pernah ia hafal:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ...
“Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96).
“Ustaz, berarti kebangkitan itu bukan utopia. Ia nyata dan pernah terjadi,” ucap Ziyad.
“Benar,” jawab Ustaz Hamzah. “Rasulullah saw. sudah memberi kabar gembira: ‘Dulu Bani Israil dipimpin para nabi. Jika seorang nabi wafat, ia digantikan nabi lain. Tidak ada nabi setelahku, tetapi akan ada para khalifah yang banyak.’ Itu artinya, setelah kepemimpinan Nabi saw., umat ini akan kembali dipimpin oleh khalifah yang menegakkan Islam secara sempurna.”
Malam itu, azan Isya berkumandang. Ziyad berdiri dengan tekad baru. Ia sadar, kebangkitan Islam bukan sekadar menunggu, tetapi menjemput janji Allah Swt. dengan kontribusi terbaik.
Ia mulai dari dirinya, menuntut ilmu syariat dengan benar, mengamalkannya, lalu mengajak keluarga dan sahabatnya. Ia terlibat dalam majelis ilmu, aktif dalam dakwah, dan ikut mendukung gerakan yang menyeru pada penerapan Islam kaffah.
Di hatinya, doa selalu terlantun:
“Ya Allah, jadikan hamba bagian dari pejuang kebangkitan Islam. Jangan Engkau wafatkan hamba dalam keadaan jahiliah yang tidak ada baiat di pundak hamba-Mu ini, ya Rabb. Ridai hamba, dan izinkan hamba melihat janji-Mu terwujud di bumi ini.”
Langkahnya mantap meninggalkan masjid. Bulan di langit tampak bulat sempurna, seakan menjadi saksi lahirnya resolusi seorang pemuda untuk menjemput kejayaan yang pernah hilang.
Kebangkitan itu tidak menunggu esok atau lusa. Ia dimulai sekarang, dari hati-hati yang yakin, pikiran-pikiran yang tercerahkan, dan langkah-langkah yang berpegang pada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: