Headlines
Loading...

Oleh. Choirin Fitri
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Aku lelah. Sungguh, aku sangat lelah. Diam membisu tanpa mampu berkata-kata. Tanpa suara, hanya lensaku yang berbicara.

Beribu-ribu peristiwa telah kuabadikan. Mulai dari yang berdarah, hingga sebuah senyum pahit yang entah apa maknanya. Mulai dari derai airmata, hingga semangat juang yang tak kenal kata putus asa. Mulai dari si pendosa, hingga orang-orang yang tak mengenal kata dosa.

Ingin rasanya aku bersembunyi saja di balik saku atau badan manusia pembawaku. Ingin rasanya aku tetap menutup lensaku karena pedih yang teramat sangat. Apalah aku, aku tercipta tanpa kata, tanpa suara, hanya lensaku yang mungkin bisa berbicara.

Kini, aku terdesak. Mau tak mau lensaku diarahkan pada sebuah buntalan putih. Ada wajah mungil tanpa dosa di dalamnya. Wajah dengan senyum kemenangan, tapi seperti aku, dia diam membisu. 

Bukan, bukan karena dia tak punya mulut. Bukan, bukan karena dia tak bisa bicara. Dia sengaja dibungkam oleh moncong senjata si durjana. Kau tahu 'kan siapa yang kumaksud?

Ya, benar. Para netizen negeri +62 sering menyebutnya isriwil. Penjajah yang tidak tahu belas kasih. Pada anak kecil tanpa dosa pun mereka tak beri ampun. Katanya, membunuh mereka adalah hiburan. Duh!

Oh ya, apa kau sudah melihat hasil jepretanku. Seorang bayi mungil dalam balutan kain putih. Kau menyebutnya kain kafan. Coba perhatikan! Apa dosa dia sampai dia harus terbungkus di usianya yang amat belia? Tak bolehkah ia menghirup udara dunia lebih lama lagi? 

Coba lihat lagi, senyum tipisnya itu senyum apa? Apakah senyum harapan bahwa kau mau berjuang untuk membebaskan teman-teman mungilnya? Ataukah senyum lega karena sudah tak lagi kesakitan karena ditinggalkan saudara seimannya?

Ah, rasanya aku ingin berteriak, "Hai kaum muslimin, berapa banyak lagi foto pilu yang harus kuabadikan? Mengapa kau pun masih sama denganku, diam membisu? Bukankah Allah menciptakanmu dengan sempurna? Kau punya dua mata untuk melihat kengerian ini. Kau punya mulut untuk bersuara. Kau punya tangan, kaki, raga yang kuat untuk membela. Kenapa? Kenapa kau tetap tak bergeming, hanya diam membisu? Irikah kau denganku, si lensa bisu?"

Aku tak mau, tapi aku tak kuasa. Dua buah tangan manusia mengarahkan lensaku pada seorang bapak tanpa air mata yang menggendong bayi mungil itu di tangan. Bukan dia tak sedih. Bukan dia orang yang paling sabar di dunia. Dia hanya salah satu orang di bumi jihad Gaza yang sudah kehabisan stok air mata. 

Lihatlah bagaimana pria itu membopong jasad bayi tanpa dosa! Ia berjalan lurus ke arah para ibu yang menantinya. Para wanita mulia itu pun tanpa air mata. Ribuan hari mereka terzalimi, tapi saudaranya diam membisu. Air mata mereka seakan telah kering diterpa berbagai kemalangan.

Aku tak kuasa membuka lensaku. Rasanya aku iri pada bayi mungil itu. Dia telah dinyatakan selesai bertugas di dunia. Dia telah kembali pada Rabb Yang Maha Kuasa. 

Sedangkan aku, aku hanya lensa bisu. Manusia tak mengerti ucapku. Seharusnya mereka mengerti caraku menyampaikan segala rasaku lewat foto-foto yang tercetak dan tersebar dalam genggaman tangan. 

Sayang, foto-foto yang membisu itu tak dilihat dengan mata hati. Mereka mungkin hanya meliriknya sekejap, lalu terlena dengan nikmatnya hidup yang mereka rasakan. Foto-foto itu pun ditinggalkan. Terserak dan dilupakan. 

Ah, aku ingin berteriak lagi, "Apa gunanya aku mengabarkan? Apa aku hanya kalian anggap sebuah benda tanpa rasa? Ah, sudahlah aku kan hanya lensa biasa tanpa kata!"

Takkan ada yang mau menjawabku. Meski ribuan bayi-bayi tanpa dosa kehilangan nyawa. Hati yang telah mati takkan tergerak peduli. Ya, kata para analis yang sempat terabadikan dalam lensaku, kaum muslimin telah terkotak-kotak dalam sekat nasionalisme. Mereka hanya peduli negaranya, bahkan mungkin tidak. Lebih tepatnya, mereka hanya peduli diri sendiri. Saudara seiman mereka yang berteriak-teriak meminta pertolongan sengaja diabaikan. "Miris!" katamu yang masih punya urat peduli.

Aku sendiri juga heran, jika lensaku memotret jauh dari angkasa, kulihat Gaza sangat imut, nyaris tak tampak. Di sekitarnya ada daratan plus lautan luas negeri-negeri Islam. Ada ribuan warga muslim yang mengelilinginya. Bahkan, mereka adalah manusia-manusia kuat pemanggul senjata. Lalu, kenapa mereka enggan mengarahkan moncong senjatanya pada penjajah?

Oh, lagi-lagi karena nasionalisme, ya? Sekat negara itu kata sebuah tulisan yang pernah masuk ke lensaku yang membuat kaum muslimin melupakan hadis Rasulullah saw. bahwa mereka satu tubuh. Jika satu bagian tersakiti, bagian yang lain ikut merasakannya. 

Hei, aku merasakan duka itu lho! Hanya saja, aku hanyalah lensa bisu, tak ada kekuatan untuk berbuat lebih selain menyuarakan apa yang kulihat lewat foto-foto yang terunggah. 

Aku sendiri kadang heran dengan tingkah polah manusia di berbagai belahan dunia. Ada orang-orang yang disebut kafir dalam Al-Qur'an banyak bersuara lantang tentang kemanusiaan yang mati di Gaza. Sayangnya, aku malah menjepret sebuah potret para penguasa negeri muslim berjabat erat dengan pemimpin para penjajah yang masih berlumuran darah. Mereka tersenyum bahagia menandatangani sebuah perjanjian pengkhianatan. 

Duh, aku ingin berteriak lagi, "Hei, kenapa sih kalian sebodoh itu? Apa kalian tidak tahu darah masih bercucuran dari tangan yang kalian genggam? Di mana keimanan kalian? Apakah kalian lupa dengan saudara seiman kalian yang sampai detik ini merana?" 

"Ah, sudahlah percuma aku berteriak! Toh, kalian hanya menganggapku lensa bisu!" 

Lensaku sudah lelah mengabarkan kezaliman. Aku sedikit terhibur ketika lensaku menjepret sebuah poster yang penuh harapan, "Bebaskan Palestina dengan Jihad dan Khilafah". 

Mungkin di tangan kaum muslimin inilah kemenangan itu ada. Entah kapan itu terjadi. Aku akan tetap diam membisu. Biarlah lensaku kelak yang mengabadikan janji Allah akan tegaknya junnah kaum muslimin yang mampu mengentaskan mereka dari para durjana.

Ayo, pekikkan takbir untukku yang masih setia tanpa kata, lensa bisu!

"Allahu Akbar!" 


Batu, 26 Agustus 2025 []

Baca juga:

0 Comments: