Headlines
Loading...

Oleh: Siti Hulfiya
(Aliansi Penulis Rindu Islam)

SSCQMedia.Com—Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 mengatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf karena ketiganya memiliki tujuan untuk disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan (CNBC Indonesia, 14/8/2025).

Dalam pidatonya, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pajak yang dibayarkan masyarakat bisa kembali dirasakan masyarakat, misalnya melalui program perlindungan sosial hingga subsidi yang menyejahterakan kalangan menengah ke bawah. Tidak hanya itu, dari penghasilan pajak, rakyat bisa mendapatkan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan gratis, juga pembangunan sekolah rakyat bagi masyarakat yang kurang mampu. Inilah yang dimaksud Menteri Keuangan RI dalam pernyataannya, “Di dalam rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain.”

Pajak Versus Zakat

Menurut Mardiasmo, seorang ahli perpajakan, pajak adalah iuran yang sifatnya wajib dan memaksa, dikenakan kepada setiap warga negara untuk dibayarkan kepada negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Meskipun bersifat wajib dan memaksa, pajak tidak diiringi dengan balas jasa khusus dari negara kepada rakyatnya. Pajak dibebankan kepada semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, tanpa memandang kaya atau miskin. Pemanfaatan pajak tidak hanya untuk membiayai kebutuhan masyarakat, tetapi juga banyak digunakan untuk membayar gaji pejabat negara.

Sebagai contoh, penghasilan para komisaris BUMN sekitar Rp100–200 juta per bulan, belum termasuk tunjangan. Adapun gaji anggota DPR mencapai sekitar Rp50 juta per bulan, ditambah tunjangan rumah bulanan sebagai pengganti rumah dinas senilai Rp30–50 juta.

Sementara itu, zakat menurut istilah dalam kitab al-Hâwî, Al-Mawardi mendefinisikannya sebagai pengambilan tertentu dari harta tertentu, dengan sifat-sifat tertentu, dan diberikan kepada golongan tertentu. Harta zakat hanya diambil dari kaum muslim yang kaya untuk disalurkan kepada yang membutuhkan. Tujuan zakat adalah membersihkan harta muzaki (pembayar zakat).

Dari pengertian tersebut, jelas bahwa pajak dan zakat berbeda, baik dari segi pengertian maupun aturan penyalurannya. Pada kondisi ekonomi yang carut-marut saat ini, pemerintah membuat kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perkotaan maupun pedesaan, dengan kenaikan antara 200–1000%. Kebijakan ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, yang menetapkan Besaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditentukan masing-masing kepala daerah. Hal ini berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan pemerintah daerah terhadap rakyat. Akibatnya, rakyat makin sengsara, kebutuhan hidup makin mahal, daya beli melemah, dan angka kemiskinan meningkat. Inilah bentuk kezaliman penguasa terhadap rakyatnya.

Negara Bebas Pajak, Mungkinkah?

Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, seperti tambang, mineral, migas, hasil laut, pertanian, dan hutan. Sumber daya alam tersebut seharusnya dikelola negara untuk membiayai kebutuhan rakyat. Namun, faktanya pengelolaan SDA negeri ini banyak dikuasai asing dan aseng dengan dalih investasi. Lebih parah lagi, praktik korupsi merajalela, merugikan negara hingga triliunan rupiah. Sebut saja kasus tambang timah dengan kerugian Rp300 triliun, kasus Pertamina dengan kerugian Rp285 triliun, dan masih banyak lagi kasus serupa.

Semua ini terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan negara sebagai regulator bagi pemilik modal, bukan sebagai pengurus rakyat.

Islam hadir sebagai sistem aturan hidup yang diturunkan Allah Swt. Dalam sistem Islam, negara berfungsi sebagai pengurus rakyat, bukan pelayan kepentingan pemodal. Oleh karena itu, penguasa wajib bekerja keras memenuhi kebutuhan rakyat. Islam tidak memperbolehkan penguasa memberlakukan pajak atas harta rakyat.

Nabi saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga pemungut pajak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim).

Dalam sistem Islam, penguasa dilarang hidup bermewah-mewahan ketika rakyat menderita. Negara juga menindak tegas para pelaku korupsi tanpa pandang bulu, dengan hukuman yang memberi efek jera. Penguasa dan rakyat hidup dalam bingkai keimanan kepada Allah Swt. Inilah perbedaan mendasar antara sistem Islam dan kapitalisme.

[Ni]

Baca juga:

0 Comments: