Headlines
Loading...
Lantunan Indonesia Raya dan Luka di Pelupuk Mata

Lantunan Indonesia Raya dan Luka di Pelupuk Mata

Oleh: Annisa Yuliasih
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Pagi itu, aku harus mengikuti sebuah pelatihan. Bergegas aku berangkat dari rumah agar tidak terlambat tiba di lokasi. Setelah menunggu beberapa saat, acara pun dimulai.

Pelatihan kali ini bersifat formal, sehingga dibuka dengan sambutan, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Sudah lama sekali aku tidak melantunkan lagu ini. Terakhir, saat aku masih duduk di bangku sekolah—setiap Senin pagi ketika upacara bendera. Awalnya, aku menganggapnya hanya sebagai formalitas. Musik pengiring mulai diputar. Di layar, tampak kibaran bendera merah putih. Seorang dirigen berdiri memimpin.

“Indonesia… Tanah airku… Tanah tumpah darahku…
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku…”

Suara nyanyian membahana memenuhi ruangan. Tiba-tiba, mataku berkaca-kaca. Mulutku tercekat. Air mata mulai mengalir.

Menjadi “pandu ibu” berarti siap menjadi penuntun dan pelindung bagi tanah air—Ibu Pertiwi. Namun, di balik kibaran merah putih itu, aku melihat bayangan negeri yang dulu dikenal sebagai zamrud khatulistiwa dan paru-paru dunia, kini meninggalkan bekas luka: tanah merah gersang, cerukan bekas tambang seperti gigi tanggal, dan lubang menganga.

Aku terbayang kekayaan alam yang dirampas oligarki, wilayah konservasi yang rusak demi komoditas, pencemaran lingkungan yang tak terkendali, hingga penduduk asli yang terusir dari tanah leluhur dan tetap hidup dalam kemiskinan.

Lantunan berlanjut.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”

Namun, yang terbayang adalah anak-anak yang tak mampu bersekolah, guru di pedalaman yang harus mempertaruhkan nyawa demi mengajar, anak-anak yang mengais rezeki di jalan, dan orang miskin yang ditolak rumah sakit hingga meninggal tanpa penanganan.

Bayangan generasi stroberi pun menghantui: mudah depresi, kehilangan jati diri, narkoba menjadi pelarian, pornografi menjadi tontonan, dan rasa malu yang nyaris punah.

“Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku…”

Merah putih masih berkibar di layar, namun pikiranku melayang pada nasib para petani yang tak mendapat dukungan, pupuk yang mahal, dan produk impor yang menggerus harga panen. Terbayang ribuan pemuda pencari kerja, karyawan korban PHK, dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga hingga merantau ke luar negeri.

Aku melihat rakyat yang tercekik pajak, terjerat pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol) bersanding dengan berita tentang triliunan rupiah yang digasak para koruptor. Mereka mencuri secara profesional, terstruktur, dan tersistem. Yang tertangkap hanyalah “kroco”, sementara gembongnya tetap bebas berkeliaran.

“Indonesia Raya, merdeka, merdeka…”

Air mataku semakin deras. Dalam bayangan, pulau-pulau strategis telah dikuasai investor asing. Penduduk lokal kehilangan akses mencari nafkah. Perjanjian dagang justru merugikan rakyat kecil. Tanah-tanah digusur atas nama investasi. Mereka yang protes malah berakhir di balik jeruji.

“Hiduplah Indonesia Raya…”

Agustus, katanya bulan kemerdekaan. Tapi benarkah ini kemerdekaan jika kebijakan penguasa masih tunduk pada arahan kapitalis asing?
Benarkah ini kemerdekaan jika pengangguran merajalela sementara tenaga kerja asing bebas masuk?
Benarkah ini kemerdekaan jika pemuda terpaksa meninggalkan tanah air demi mencari keadilan dan kesejahteraan?

Sepertinya, negeri ini sudah berjalan terlalu jauh dan menimbulkan banyak luka. Sudah saatnya kembali pada fitrahnya—kepada pelukan Sang Maha Pencipta, mengikuti sistem dan aturan-Nya, agar benar-benar menjadi negeri yang jaya.

Catatan kecil menjelang 17 Agustus.
Sidoarjo, 5 Agustus 2025.

Baca juga:

0 Comments: