Headlines
Loading...
Hijrah dari Ketimpangan Kapitalisme ke Keadilan Islam

Hijrah dari Ketimpangan Kapitalisme ke Keadilan Islam


Oleh. Istiana Ayu S. R.
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Kita hidup di zaman yang serba modern. Teknologi canggih, ekonomi tumbuh, gedung tinggi makin banyak. Tapi, lucunya, kemiskinan tetap jadi masalah klasik yang belum beres. Padahal sumber daya alam melimpah, sumber daya manusia juga nggak kalah. Jadi kenapa masih banyak orang hidup susah? Jawabannya ada di sistem yang kita pakai saat ini, yaitu kapitalisme.

Kapitalisme sering disebut sebagai sistem yang menjanjikan kebebasan dan kemajuan ekonomi. Tapi kalau kita lihat kenyataan, sistem ini lebih menguntungkan yang punya modal besar, sementara yang kecil makin tersingkir.

Buktinya bisa kita lihat di laporan Oxfam tahun 2024, yang mencatat bahwa kekayaan para miliarder dunia naik sebesar US$2 triliun hanya dalam satu tahun, dan bahkan diprediksi akan ada lima orang triliuner dalam satu dekade ke depan (Oxfam, 2024). Saat 1% orang terkaya menguasai sekitar 43% kekayaan dunia, setengah populasi global hanya memiliki 1–2% saja (LiveNowFox, 2024).

Di Indonesia, data BPS Maret 2023 menunjukkan bahwa 25,90 juta jiwa atau sekitar 9,36% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2023). Meskipun pada Maret 2024 angka itu turun jadi 25,22 juta orang atau 9,03%, tetap saja itu bukan jumlah kecil (BPS, 2024). Ironisnya, sebagian besar dari mereka adalah petani, buruh, dan nelayan pekerja sektor riil yang justru menopang ekonomi dasar bangsa.

Dan jangan lupakan standar gandanya di mana ketika subsidi buat rakyat kecil dikritik karena dianggap membebani APBN, suntikan dana triliunan ke korporasi besar malah disebut “stimulus ekonomi.” Jadi jelas, kemiskinan bukan karena rakyat malas, tapi karena sistemnya memang berat sebelah.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam membangun sistem ekonomi yang adil dan berpihak pada manusia, bukan semata angka pertumbuhan. Islam mengenal konsep kifayah, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan yang wajib dijamin negara.

Rasulullah ï·º bersabda:
Tidaklah beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.
(HR Bukhari)

Hadis ini mengajarkan bahwa kesejahteraan itu tanggung jawab sosial, bukan urusan pribadi doang.

Islam juga punya solusi nyata dalam mengatasi kemiskinan:
Zakat, infak, sedekah, wakaf: sistem distribusi kekayaan yang nyata dari yang mampu ke yang membutuhkan, tanpa tunggu birokrasi ribet.
Larangan riba: supaya masyarakat nggak makin miskin karena utang berbunga.
Pengelolaan kekayaan umum: seperti tambang, laut, dan hutan tidak boleh dikuasai korporasi, tapi dikelola negara untuk rakyat. Ini ditegaskan oleh pakar ekonomi Islam KH Hafidz Abdurrahman, bahwa sumber daya milik umum harus dikelola negara demi kemaslahatan, bukan jadi komoditas segelintir orang (Media Umat, 2022).

Kalau memang ingin menghapus kemiskinan secara permanen, maka solusinya bukan cuma program bantuan tunai atau bagi-bagi sembako gratis. Kita butuh sistem yang adil secara struktural, yang menjamin distribusi kekayaan dan memastikan negara hadir untuk semua, bukan hanya yang punya kuasa. Islam sudah jelas punya semuanya, mulai dari sistem zakat, pengelolaan kekayaan publik, sampai prinsip negara yang melayani rakyat. Karena pada akhirnya, kesejahteraan bukan soal berapa besar ekonomi tumbuh, tapi seberapa adil kekayaan itu dibagi dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat.

Maka sudah saatnya kita beralih dari sistem ketimpangan, yaitu kapitalisme, menjadi sistem keadilan, yaitu Islam. Karena hanya sistem Islam yang mampu menuntaskan kemiskinan. [Ni]

Baca juga:

0 Comments: