Headlines
Loading...

Oleh. Erna Kartika Dewi 
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.ComSetiap kali membahas tentang langkah menuju surga, aku selalu teringat masa-masa ketika menapaki jalan hijrah ini.

Dulu, aku menganggap Islam itu cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian salat, zakat, puasa, lalu berhaji bagi yang mampu. Mengaji pun hanya sekadar dibaca tanpa ada keinginan untuk mentadaburi isinya, itu pun kalau sempat. Aku belum tahu bahwa ternyata Islam itu sangat luas dan aku belum belajar Islam secara menyeluruh.

Astaghfirullah, jika mengingat semua itu, malu rasanya diri ini. Seorang makhluk yang sebenarnya sangat lemah dan berbatas, napas saja masih dikasih Allah, lengkapnya anggota tubuh ini juga semua karena pemberian Allah, banyaknya teman yang mengatakan aku baik pun itu semua karena Allah yang menutup aib-aibku, tetapi aku masih saja melakukan banyak penawaran, suka menunda-nunda kebaikan, dan hidup sesuka hati.

Seiring berjalannya waktu, perlahan jalan menuju kebaikan itu pun mulai terbuka. Dan semua itu berawal dari sesuatu yang tidak aku sukai. Kepindahanku ke Kota Sidoarjo adalah awal dari semuanya. Di kota yang pada awalnya tidak ada dalam mimpi ataupun rencana jangka panjangku ini ternyata justru membawa perubahan besar dalam hidupku.

Di kota ini, aku pertama kali terjun dan ikut berkecimpung dalam dunia anak-anak. Aku mulai mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak padahal aku tidak mempunyai latar belakang pendidikan anak-anak sama sekali. Sangat jauh sekali dengan jurusan yang aku ambil saat kuliah dulu.

Tapi entah mengapa, aktivitas itu justru membuatku bahagia. Kunikmati hari-hariku sebagai seorang pengajar Playgroup yang mendampingi anak-anak yang masih polos dan apa adanya dari rumah. Tangisan mereka, celotehan mereka, atau apa pun yang unik dari mereka adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Aku justru merasa terhibur dengan keberadaan mereka dalam hidupku.

Selain mengajar, aku pun akhirnya sering mengikuti kegiatan parenting tentang cara mendidik anak dan semua hal tentang dunia anak. Dari situ akhirnya aku sadar, bahwa ternyata selama ini aku belum bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku. Aku masih belum punya ilmunya sama sekali.

Di kota ini pula akhirnya aku dikenalkan pada sebuah syarikah yang akhirnya menjadi tempatku belajar hingga saat ini. Pada saat itu aku berpikir, mengapa mengajinya seperti ini, ya? Mengapa pakaian dan kerudungnya pada besar dan panjang? Mengapa wajahnya selalu saja polos? Mengapa banyak sekali aturannya di sini dan serba tidak boleh? Saat itu ada banyak sekali pertanyaan yang muncul di benakku, tapi tidak berani kutanyakan secara langsung.

Aku mencoba memahaminya perlahan-lahan dalam diamku. Saat itu yang ada dalam pikiranku, mau seperti apa pun mereka yang baru aku temui itu, aku yakin semuanya pasti orang baik. Karena tidak mungkin tetehku mengenalkan dan membiarkan aku berkumpul dengan orang-orang yang tidak baik.

Banyaknya pertanyaan yang muncul di benakku tak membuatku berpikir untuk mundur dari kajian ilmu tersebut. Justru semakin membuatku penasaran. Aku pun terus menjalani semua aktivitasku di kelompok tersebut, paham atau tidak paham, aku tetap berupaya untuk terus hadir tanpa izin sedikit pun.

Saat itu suami masih bertugas di luar pulau, dan di rumah aku belum memiliki kendaraan apa pun, apalagi pada saat itu ditanamkan dalam pikiran kami bahwa kita harus menjauhi dan lepas dari riba. Jadi aku pun mulai takut dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan leasing. Kunikmati hari-hariku meskipun setiap kali pergi mengaji harus menumpang motor teman dan kadang bertemu kondisi yang kurang nyaman.
Perlahan-lahan aku pun mulai mengubah penampilanku. Dari yang kerudung pendek menjadi kerudung besar dan panjang, dari yang tabaruj menjadi polos dan apa adanya. Ya, aku yang masih terbilang baru saat itu ternyata mempunyai niat dan keinginan dalam hati untuk berubah menjadi lebih baik lagi. "Aku ingin hijrah ya Allah..." batinku saat itu. Pertemuan demi pertemuan yang kujalani seolah memberikan aku sebuah pemikiran dan ingin berkata:
"Ajari dunia bahwa perempuan bukan hanya tentang wajah dan tubuh saja. Perempuan adalah kesatuan dari cerdasnya akal, lembut hatinya, kuatnya iman, ikhlasnya perbuatan, dan mustajabnya doa."

Dan dengan tekad serta azam yang kuat, akhirnya kutetapkan hatiku untuk berada di jalan hijrah.

Hijrah seorang muslim bukan sekadar berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi lebih dari itu, hijrah adalah perjalanan jiwa menuju cahaya Ilahi.

 Dalam keheningan malam yang panjang, saat hati mulai lelah dengan dunia yang fana, Allah mengetuk lembut pintu nurani hamba-Nya. Ada bisikan halus dalam dada, mengajak kembali kepada fitrah, kepada tujuan penciptaan.

Hijrah adalah titik balik, saat seorang muslim menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada tawa yang kosong, bukan pada harta yang menumpuk, bukan hanya kecantikan semata, banyaknya harta yang dimiliki atau pujian manusia yang fana. Tapi kebahagiaan itu adalah ketenangan yang mengalir saat sujud, ada air mata yang jatuh bukan karena kecewa pada dunia, tapi karena rindu akan ampunan Allah yang Maha Pengasih. Dan juga rasa syukur atas apa pun yang Allah berikan kepada kita.

Setiap langkah hijrah penuh tantangan. Tak semua memahami, tak semua mendukung. Seperti yang aku alami, jalan hijrahku pastinya mendapatkan komentar dari orang-orang sekitar bahkan teman-teman dekatku. Aku pernah dikatakan Islam yang memecah belah umat, aku pernah disebut Islam yang tidak Pancasilais, dan masih banyak sebutan-sebutan lainnya. Padahal aslinya hidupku dan keseharianku normal-normal saja, tidak ada hal aneh yang kulakukan. Tapi entahlah ... begitulah liku-liku yang dihadapi saat berhijrah.

Seperti apa pun rintangan yang hadir di dalam hijrahku, tetap kujalani dengan lapang dada. Aku berpikir seorang muslim yang berhijrah harus tetap melangkah apa pun yang terjadi, karena aku tahu, semua yang dilakukan ini bukan tentang manusia, ini tentang Rabb-ku. Aku menanggalkan kebiasaan lama, meninggalkan dosa-dosa yang dulu terasa manis, untuk mengejar cinta Allah yang abadi.

Bagiku, hijrah adalah keberanian untuk berubah, meski harus merangkak dalam gelap, meski harus menangis dalam sepi. Tapi dalam proses itu, Allah tanamkan cahaya dalam hati ini. Cahaya yang membuatku tetap kuat menghadapi hari-hari, dan sabar menanti akhir yang lebih baik.

Hijrah adalah bukti bahwa Allah masih sayang kepadaku. Seperti yang aku alami, di usiaku yang sudah tidak muda lagi, ternyata Allah masih memberikan kesempatan untuk berhijrah dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Jadi, bagaimana mungkin aku mengabaikan atau melewatkan kesempatan itu?

Allah begitu sayang kepadaku hingga tidak membiarkan aku tenggelam dalam kelalaian. Allah selalu memanggil dan mengetuk pintu hati ini dengan begitu lembut, mengulurkan tangan-Nya melalui ujian, melalui hidayah, melalui orang-orang salih yang menjadi perantara cahaya.
Dan aku pun percaya, ketika seorang muslim memutuskan berhijrah, langit bersukacita. Para malaikat mendoakan, bumi menjadi saksi perubahan. Di balik hijrah itu, ada cinta yang besar, cinta kepada Allah, cinta kepada Rasul, dan cinta pada kehidupan yang diridai.

Hijrah yang sedang kutapaki ini bukan berarti sempurna. Tapi hijrah ini adalah tanda bahwa aku tak ingin lagi menjadi hamba dunia. Aku ingin menjadi hamba yang dicintai oleh Allah. Dan dalam setiap langkah hijrah ini, Insya Allah, jalan menuju surga sedang terbuka perlahan, seluas harapan yang tak pernah padam.

Ya Rabb ...
Tetapkan hatiku di jalan hijrah ini
Buat hati dan pikiranku hanya terpaut pada-Mu ...
Tuntunlah aku di jalan-Mu yang lurus, jalan yang Engkau berkahi dengan rida dan kasih sayang.
Jangan pernah tinggalkan aku ...
Jaga semangat dan istikamah yang ada dalam hatiku.
Dan buatlah semua menjadi sesuatu yang indah dan membahagiakan di dalam hidupku.
Agar aku bisa menemukan ujung yang indah nantinya.
Dan jadikan hijrah ini sebagai jalanku menuju surga-Mu.
Aamin ... aamin ya Rabbal alamin. []


Baca juga:

0 Comments: