Oleh: Aznur
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Saya terlahir di sebuah kampung yang serba terbatas dalam akses informasi. Jaringan telekomunikasi baru hadir ketika saya menginjak bangku SMA, tepatnya saat ujian akhir sekolah. Adat istiadat masih mendarah daging di tengah masyarakat yang kental dengan animisme dan dinamisme. Agama pun hanya dipahami sebatas ibadah ritual semata. Akibatnya, banyak warga yang melaksanakan salat di luar rumah dengan pakaian seadanya, bahkan setengah telanjang. Informasi tentang Islam kaffah sangat minim.
Syukur, saya memiliki hobi membaca. Apa pun saya baca—buku, buletin, hingga koran—untuk menemani kesunyian. Banyak informasi yang saya peroleh untuk menambah wawasan. Suatu hari Jumat, kakak lelaki saya pulang salat Jumat membawa secarik kertas yang dilipat-lipat. Sesampainya di rumah, ia meletakkannya di meja. Rasa penasaran saya memuncak. Saya pun mengambil kertas itu, membukanya, dan mulai membaca. Ternyata, itu adalah buletin Al-Islam.
Buletin tersebut mengubah pemahaman saya tentang Islam. Selama ini, saya mengira Islam hanya sebatas ibadah ritual. Ternyata, pembahasan Islam sangat luas, mencakup isu dalam negeri hingga luar negeri. Tidak lama kemudian, ayah saya dihubungi seorang syabab yang saat itu masih sendirian berdakwah di kampung. Ketika ditawari berlangganan majalah Media Umat, ayah bersedia. Sejak itu, beliau menikmati setiap tulisan di media tersebut. Hobi membacanya menurun kepada saya.
Namun, jalan dakwah tidak semulus jalan beraspal. Banyak kerikil menghadang. Sering berinteraksi dengan harakah berbeda membuat pandangan ayah saya pun bergeser. Media Umat yang dulu dibeli, tidak lagi dibaca. Meski demikian, beliau tetap menerimanya ketika dibawakan ke rumah. Pernah saya yang menerimanya, dan dari situlah saya mulai membaca Media Umat yang memiliki misi “bergerak bersama umat”. Saat itu, saya belum mengenal Islam kaffah.
Ketika ayah mengunjungi kakak perempuan saya yang kuliah di Kendari, beliau membaca salah satu bukunya dan tertarik. Sesampainya di rumah, beliau berkata kepada saya, “Ada buku kakakmu yang bagus sekali, nanti kamu baca kalau ke Kendari.” Saya menjawab, “Begitu ya, Pak. Nanti aku baca.” Saya tidak tahu judulnya, tetapi saya berniat mencari tahu.
Setelah lulus SMA, saya berencana melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada perbedaan pilihan jurusan antara saya dan orang tua. Demi menghormati mereka, saya mendaftar jurusan pilihan mereka. Namun, Allah tidak menakdirkan saya diterima di kampus tersebut. Sebagai opsi kedua, saya mendaftar di jurusan pilihan saya sendiri, dan Alhamdulillah, Allah meridai.
Saya sekamar kos dengan kakak perempuan. Namun, buku yang pernah disebutkan ayah tak kunjung saya temukan. Saat liburan, saya bertanya kepada kakak, “Kata bapak, ada bukumu yang bagus sekali. Bisa tunjukkan kepadaku?” Ia menjawab, “Tidak ada.” Saya pun mengakhiri pembicaraan itu.
Beberapa bulan kuliah, saya perhatikan kakak sering pergi, bahkan menginap untuk kegiatan mabit (malam bina iman dan takwa). Suatu hari, ia mengajak saya ikut. Sebagai mahasiswa baru, saya menurut saja. Alhamdulillah, saya mendapat ilmu baru dan mulai merasakan semangat persaudaraan seakidah.
Di kampus, banyak komunitas dakwah Islam. Saya mengikuti yang populer di fakultas saya. Ternyata, berbeda dengan komunitas yang diikuti kakak. Meski begitu, kakak tetap mengajak saya ke tempat belajarnya, bahkan mengajak tetangga kos agar saya tidak canggung. Saat tiba, acara sudah dimulai. Pandangan saya tertuju pada media yang dipegang pemateri—Media Umat—yang sering saya baca di kampung. Namun, saat itu saya anggap biasa saja.
Kakak sering mengajak diskusi, tapi saya kerap membantah berdasarkan pemahaman yang saya dapat dari komunitas di fakultas. Akhirnya ia berkata, “Terserah kamu. Yang penting aku sudah menyampaikan.” Hingga suatu ketika, komunitasnya mengadakan acara dengan 1.000 peserta se-Sulawesi Tenggara. Tiket masuk dijual panitia, dan kakak termasuk penjualnya. Ia berkata, “Kalau mau ikut, nanti aku belikan tiketnya.” Saya jawab, “Baiklah, tapi bukan berarti aku mau ikut komunitasmu.” Ia hanya berkata, “Yang penting hadir saja.”
Hari itu pun tiba. Auditorium Mokodompit dipenuhi peserta. Saya datang terlambat. Setelah registrasi, saya masuk. Ada rasa aneh saat mendengar pekikan takbir di tengah lautan manusia dengan kibaran bendera al-liwa dan ar-raya. Saat pemutaran film Sultan Muhammad Al-Fatih, air mata saya menetes tanpa henti hingga akhir acara. Saya menyesal mengapa baru sekarang menemukan komunitas yang sejalan dengan fitrah saya sebagai hamba Allah.
Sejak itu, saya memutuskan belajar dan bergabung dengan komunitas yang kakak ikuti. Kebetulan ada juga anggotanya di fakultas saya, meski tidak sepopuler komunitas sebelumnya. Usai acara, saya di-follow up. Alhamdulillah, saya mulai belajar kitab Nizhamul Islam. Saat mempelajari dan menghubungkannya dengan informasi sebelumnya, saya sadar bahwa buku yang pernah disebut ayah adalah Nizhamul Islam. Buku itu menjelaskan simpul besar pertanyaan mendasar manusia: pengaturan hubungan antara Sang Khalik dan hamba-Nya, pengaturan manusia dengan dirinya sendiri, serta pengaturan manusia dengan sesama makhluk.
Buton Utara, 4 Agustus 2025
[An]
Baca juga:
0 Comments: