Oleh: Ummi Fatih
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Angin Agustus berembus kencang, menggoyangkan deretan bendera merah putih yang dipasang di sepanjang jalan. Suara anak-anak tertawa riang saat mengikuti lomba, ibu-ibu rela mengurangi uang belanja hanya demi menyiapkan kostum pawai yang akan digelar. Para lelaki pun tidak keberatan sibuk menghias gapura, padahal mereka telah merasa lelah setelah mencari nafkah.
Semua itu tampak sebagai wujud kecintaan luar biasa masyarakat pada tanah airnya yang setiap tahun merayakan hari kemerdekaan. Namun demikian, aku jadi bertanya-tanya dalam hati, “Meski suasana kemerdekaan begitu semarak, apakah penjajahan benar-benar telah bubar?”
Sebagaimana aksi keras para pahlawan nasional yang berhasil mengusir penjajah asing yang dahulu kala banyak menyiksa dan merampas harta di tanah Indonesia, mengapa siksaan dan perampasan itu masih dapat dirasakan hingga sekarang? Bahkan, nuansa penjajahan justru tampak dilakukan oleh para pemimpin negeri ini sendiri.
Hatiku terguncang. Aku kecewa berat pada para pemimpin yang tidak adil dan beradab. Sebab, berbagai kebijakan mereka lebih banyak melahirkan fakta buruk yang membuat kehidupan rakyat semakin sengsara.
Dalam aspek ekonomi, misalnya, kebijakan penjualan atau penyewaan lahan negara kepada pihak swasta dan asing yang dianggap dapat menjadi pemasukan negara justru lebih menyerupai bentuk penjajahan modern. Kebijakan tersebut sejatinya merenggut hak kepemilikan masyarakat dalam negeri yang seharusnya bisa merasakan manfaatnya.
Buktinya, untuk sebuah tanah di daerah Nusa Tenggara Timur yang sudah diberi status Hak Guna Usaha (HGU) oleh negara, kegunaannya justru diberikan kepada PT Krisrama. Lebih miris lagi, ketika perusahaan itu melakukan penggusuran paksa terhadap beberapa rumah warga suku adat Sikka, pemerintah malah menjatuhkan hukuman pidana pada masyarakat (amnesty.id, 17/3/2025).
Demikian pula dengan urusan ketidakadilan dan amoral prajurit penjajah di masa lalu yang hampir setiap hari mengejar dan menembak mati leluhur kita, ketidakamanan itu masih terasa meski Indonesia telah merdeka.
Banyak warga Indonesia merasa tidak bisa hidup tenang dan aman. Hanya dalam tiga tahun terakhir, tercatat sekitar 100 nyawa melayang akibat kasus kekerasan oleh aparat kepolisian (bbc.com, 21/3/2025).
Mulutku terasa pedas, ingin berteriak. Saat menghadiri undangan musyawarah desa untuk merayakan kemerdekaan, aku justru mendapati acara itu bertolak belakang dengan perjuangan suci para pahlawan yang seharusnya diingat dan diceritakan kepada generasi muda penerus bangsa.
Aku semakin kecewa ketika mengusulkan agar masyarakat mengisahkan perjuangan para pahlawan bangsa seperti Pangeran Diponegoro atau Sultan Hasanuddin. Namun, masyarakat lebih memilih mengambil tema mitos budaya yang tidak nyata, seperti dongeng Srikandi yang tak memiliki hikmah nyata dalam kehidupan.
Sebaliknya, aku masih teringat masa kecil ketika duduk di pangkuan nenek. Beliau sering menceritakan kisah lelaki-lelaki gagah zaman dahulu. Mereka turun ke medan perang, bukan sekadar membawa bambu runcing, melainkan juga semangat jihad yang berkobar demi meraih kemerdekaan dunia sekaligus akhirat.
“Mereka tak takut mati,” ucap nenekku suatu malam. “Karena mereka lebih mengejar rida Allah yang akan memberi kemerdekaan dari api neraka bagi hamba-Nya yang berjuang melawan kemungkaran.”
Dari kisah-kisah itu aku sadar bahwa jihad adalah kewajiban. Setiap muslim harus menjalaninya sebagai konsekuensi iman. Allah Swt. berfirman dalam surah at-Taubah ayat 41:
"Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Sayang sekali, semua itu bertolak belakang dengan keadaan hari ini. Batinku bertanya lirih, “Mengapa pemimpin justru mengikuti jejak penjajah, sedangkan masyarakat patuh tanpa kebangkitan untuk kembali meraih kemerdekaan?"
Padahal, Islam yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia telah mengajarkan bahwa berkata benar kepada pemimpin zalim adalah jihad utama. Rasulullah saw. bersabda:
"Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Tangisku pecah. Di bulan Agustus ini, tarikan dana perayaan kemerdekaan kembali diajukan ke setiap rumah. Aku tidak bermaksud pelit, tetapi kekecewaanku semakin menjadi.
Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk bersedekah kepada fakir miskin justru dipakai membeli bahan gapura, hiasan jalanan, dan hadiah lomba hiburan. Padahal, rumah-rumah orang miskin berderet di sekitar kami, jumlah anak yatim yang butuh bantuan pun banyak.
Dari semua itu, aku semakin sadar bahwa semua merupakan akibat ideologi sekularisme dan kapitalisme yang lama ditanam para penjajah. Walau penjajah kejam itu telah pergi, benih ideologi itu masih tumbuh subur di negeri ini.
Akibatnya, pemimpin yang jujur dan amanah sulit ditemukan. Mereka lebih merasa sebagai pegawai negeri yang hanya menuntut gaji, lalu berlomba meraup keuntungan pribadi, bukan melayani dan melindungi rakyat.
Sementara itu, dalam ideologi sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, masyarakat semakin jauh dari petunjuk Ilahi yang seharusnya dipatuhi. Karena itu, berkah dan kesejahteraan hidup tidak Allah turunkan. Sebagaimana firman-Nya:
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. al-A‘raf: 96)
Aku pun menunduk. Di tengah keramaian bulan Agustus ini, aku merasa hanya petunjuk Allah Swt. yang dapat mewujudkan kemerdekaan hakiki melalui sistem Khilafah Islam. Dalam sistem Khilafah itulah kesempurnaan kebenaran Islam dijalankan, sehingga nuansa keimanan semakin meningkat. Dengan begitu, setiap insan akan sadar untuk selalu berbuat baik karena setiap amal perbuatan harus dipertanggungjawabkan.
Hasilnya, insyaallah para pemimpin akan berkarakter jujur dan bijaksana. Masyarakat pun akan berkepribadian mulia, menjauhi ideologi sekuler dalam gaya hidup. Pada akhirnya, kemerdekaan insyaallah benar-benar dapat dirasakan secara nyata, karena semuanya bebas dari siksaan dan tipu daya. [MA]
Baca juga:
0 Comments: