Headlines
Loading...
Kemacetan Banyuwangi Berpotensi Terulang, Saatnya Solusi Islam

Kemacetan Banyuwangi Berpotensi Terulang, Saatnya Solusi Islam

Oleh: Azrina Fauziah, S.Pt
(Aktivis Muslimah)

SSCQMedia.Com — Banyuwangi tengah dilanda masalah sarana transportasi. Akibatnya, terjadi kemacetan panjang di jalur Pantura Situbondo–Banyuwangi. Kemacetan ini mencapai 42 km, dengan titik ekornya berada di kawasan Blok Curah Tangis, Taman Nasional Baluran, Situbondo (detik.com, 25-7-2025).

Kemacetan horor ini didominasi oleh kendaraan besar yang mengarah ke Pelabuhan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi. Meski demikian, sejak Senin, 4 Agustus 2025, arus lalu lintas menuju Pelabuhan Ketapang dikabarkan mulai berangsur normal. Namun, potensi kembalinya kepadatan kendaraan masih ada, bergantung pada jumlah kapal yang beroperasi serta kondisi cuaca di perairan Selat Bali (radarbanyuwangi.jawapos.com, 5-8-2025).

Apa Pemicu Kemacetan Banyuwangi?

Dikutip dari tempo.com (25-7-2025), General Manager ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang, Yannes Kurniawan, mengungkapkan bahwa kemacetan di ruas jalan nasional Banyuwangi–Situbondo dipicu oleh tiga hal.

Pertama, antrean kendaraan di Pelabuhan Ketapang akibat penundaan kapal yang beroperasi di lintas Ketapang–Gilimanuk akibat kecelakaan laut KMP Tunu Pratama Jaya.

Kedua, adanya kebijakan pembatasan tonase kendaraan di atas 35 ton, dengan bobot kendaraan maksimal 75 persen dari kapasitas yang diizinkan.

Ketiga, penutupan jalur Gumitir yang membuat jalur nasional dialihkan menuju jalur Situbondo dan Bondowoso.

Beberapa hal tersebut memicu kemacetan parah di Banyuwangi Utara. Dampaknya tidak hanya dirasakan masyarakat berupa kemacetan, tetapi juga memengaruhi ketersediaan BBM di wilayah Jember dan sekitarnya. Penutupan total jalur Gumitir yang menghubungkan langsung Jember–Banyuwangi membuat distribusi BBM tersendat, karena pasokan BBM untuk Jember dan sekitarnya berasal dari Banyuwangi. Warga pun harus mengantre panjang di SPBU, bahkan harga BBM eceran sempat mencapai Rp25.000 per liter akibat kelangkaan tersebut (kompas.com, 30-7-2025).

Sistem Kapitalisme Memandang Infrastruktur sebagai Komoditas

Pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalisme berorientasi pada keuntungan materi. Banyak proyek besar seperti jalan tol, kereta cepat, pesawat, dan moda transportasi lainnya dikendalikan oleh korporasi. Negara dalam sistem kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator kebijakan, bukan penyedia utama. Negara dan swasta bekerja sama membangun infrastruktur transportasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi kerja sama ini otomatis dibangun atas dasar bisnis. Jika rakyat ingin menikmati infrastruktur transportasi yang memadai, mereka harus membayar mahal.

Kebijakan pemerintah sering mengarahkan investor untuk masuk, namun kerap mengabaikan infrastruktur di daerah. Pembangunan jalan tol dan proyek besar lebih diutamakan di kota-kota besar, sementara wilayah terpencil tertinggal infrastrukturnya karena dinilai tidak menguntungkan bagi korporasi.

Persoalan ini tengah dirasakan warga Banyuwangi, Jawa Timur. Ketika akses jalur nasional Gunung Gumitir ditutup total untuk perbaikan jalan, pemerintah seolah tidak memiliki solusi jalan alternatif yang memadai bagi rakyat.

Proyek jalur lintas selatan yang diresmikan sejak 2002, hingga 23 tahun kemudian, belum menunjukkan progres pembangunan yang berarti. Alhasil, jalur alternatif dialihkan ke Pantura Situbondo–Banyuwangi sehingga menimbulkan kemacetan parah hingga 30–42 km. Kemacetan panjang di wilayah Pantura tentu berdampak pada roda perekonomian masyarakat, khususnya Banyuwangi dan sekitarnya.

Oleh karena itu, para pemegang kebijakan seharusnya melakukan introspeksi: apakah negara telah benar-benar hadir untuk kepentingan rakyat atau justru untuk kepentingan pemilik modal?

Infrastruktur Transportasi dalam Khilafah

Dalam Islam, jalan merupakan kepemilikan umum. Setiap orang berhak menggunakannya dengan aman dan nyaman. Khalifah memiliki tanggung jawab sebagai ra’in (pemimpin atau penggembala) yang bertanggung jawab atas rakyatnya, termasuk dalam penyediaan jalan alternatif dan fasilitas umum lainnya. Penguasa dalam Islam tidak akan mencari keuntungan dari proyek-proyek yang menyangkut kemaslahatan rakyat.

Bahkan, begitu besar perhatian Khilafah terhadap urusan jalan, hingga Umar bin Khattab pernah berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad, niscaya Umar akan dimintai pertanggungjawaban, seraya ditanya: mengapa tidak meratakan jalan untuknya?” Hal ini menggambarkan sosok pemimpin yang peduli terhadap rakyatnya, bahkan terhadap hewan tunggangan sekali pun.

Terkait infrastruktur jalan, sejak tahun 950 M, jalan-jalan di Cordova sudah diperkeras, dibersihkan secara rutin, dan setiap malam diterangi lampu-lampu minyak. Baru pada tahun 1185 M, Paris menjadi kota pertama di Eropa yang mengikuti jejak Cordova. Kaum muslim juga mengembangkan moda transportasi seperti kapal, mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas 1.000 ton dan kapal perang untuk 1.500 orang.

Di era Kekhilafahan Utsmani, Khalifah Abdul Hamid II mencanangkan proyek Kereta Hijaz yang menghubungkan Istanbul (ibu kota Khilafah) hingga Makkah melewati Damaskus, Yerusalem, dan Madinah. Proyek ini mampu mempersingkat perjalanan dari 40 hari menjadi 5 hari. Tidak hanya itu, Khilafah juga membangun fasilitas masjid, tempat singgah musafir, dan pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan.

Semua fasilitas ini disediakan untuk kemaslahatan rakyat, tanpa pungutan biaya yang memberatkan. Inilah profil pemimpin dalam Islam yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, bukan saling melempar tanggung jawab seperti penguasa hari ini.

Wallahu a’lam. [ry]


Baca juga:

0 Comments: