Headlines
Loading...
Kurikulum KBC, Solusi atau Bahaya bagi Generasi?

Kurikulum KBC, Solusi atau Bahaya bagi Generasi?

Oleh: Ummu Ahtar
(Anggota Komunitas Setajam Pena)

SSCQMedia.Com — Kementerian Agama Republik Indonesia resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menyebutkan bahwa KBC merupakan langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini diharapkan mampu mengubah generasi menjadi lebih toleran dan memiliki empati terhadap perbedaan (sindonews.com, 25-07-2025).

Apakah KBC Bisa Membawa Kemajuan Generasi?

Dari namanya, sekilas KBC tampak menawarkan gagasan yang sangat baik. Sebagaimana pidato Menteri Agama Nasaruddin Umar, kurikulum KBC akan membawa cinta universal pada setiap generasi. Cinta yang dimaksud adalah cinta yang dapat menjembatani perbedaan dan menyatukannya. Generasi diharapkan memiliki empati untuk mewujudkan rasa kebersamaan atas perbedaan suku atau agama.

Namun, definisi cinta terhadap perbedaan ini memungkinkan terjadinya penyelewengan ajaran agama. Sebab, arti toleransi yang dimaksud adalah keikutsertaan dalam aktivitas atau perayaan ajaran agama lain.

Jika ditelaah lebih dalam, konsep cinta versi Kemenag ini dapat merusak makna cinta dalam pandangan Islam. Islam tidak mengajarkan untuk mencintai sesuatu tanpa iman. Cinta seorang muslim harus dibangun di atas keimanan, sedangkan benci didasarkan pada kekufuran.

Dari Ibnu Mas’ud ra., Rasulullah saw. bersabda:

"Wahai Abdullah bin Mas’ud!"
Ibnu Mas’ud berkata, "Ada apa, ya Rasulullah?" (beliau mengatakannya tiga kali).
Rasulullah bertanya, "Apakah engkau tahu tali keimanan yang paling kuat?"
Aku berkata, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu."
Rasulullah saw. bersabda, "Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya."
(HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

Proyek Pendidikan ala Kapitalisme

Potret generasi muda saat ini memang mengkhawatirkan: pergaulan bebas, perundungan (bullying), hedonisme, tawuran, pemerkosaan, LGBT, dan sebagainya. Kini semakin banyak dijumpai gaya hidup kebarat-baratan, seperti berbicara kasar, tidak menghargai orang yang lebih tua, normalisasi seks bebas, hingga hamil di luar nikah. Generasi muda pun semakin mudah tersulut emosi, bahkan sampai membunuh.

Kapitalisme adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Tujuan utama sistem ini adalah materi atau uang. Sistem yang mendewakan uang ini memprioritaskan keuntungan materi dibandingkan kemaslahatan umat. Akibatnya, kekuasaan sering dimenangkan oleh para kapitalis atau pemilik modal. Praktiknya, pihak kapitalis mampu membolak-balik kebijakan demi kepentingan mereka, sementara rakyat menjadi korban.

Banyak kriminalitas terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang mengedepankan ide kebebasan: bebas beragama, bebas berpendapat, bebas bergaul antar lawan jenis, dan sebagainya. Inilah fakta yang terjadi saat ini: generasi mengalami krisis moral dan agama.

Mengenalkan cinta universal, mengutamakan perbedaan, dan berempati terhadap perbedaan dapat merusak akidah seorang muslim. Sebab, cinta seperti itu hanya didasari paham pluralisme dan relativisme. Akibatnya, akidah Islam menjadi tidak murni lagi. Terlebih, kurikulum ini dikemas dalam wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Hal ini sejatinya sejalan dengan konsep moderasi beragama yang mengarahkan generasi Islam untuk menerima perbedaan agama dengan toleransi yang kebablasan. Nilai-nilai semacam ini berpotensi merusak akidah generasi muslim.

Kurikulum ini juga mengandung bahaya deradikalisasi sejak dini dalam berbagai bentuknya. Akibatnya, generasi muslim bisa bersikap keras kepada sesama muslim, tetapi tunduk kepada nonmuslim atas nama perdamaian. Sebaliknya, muslim yang taat pada syariat Islam secara kafah diberi label radikal, dimusuhi, dipersekusi, pengajiannya dibubarkan, dan sebagainya.

Sementara itu, nonmuslim diperlakukan dengan hormat meski menghina syariat Islam. Bahkan, kaum muslimin akan diajak ikut merayakan hari raya nonmuslim. Terlihat jelas bahwa kurikulum KBC berasas kapitalisme-sekularisme. Kurikulum ini menjauhkan generasi dari agama dan menjadikan akal sebagai sumber hukum dalam menentukan segala sesuatu. Ide-ide tersebut jelas batil menurut Islam.

Islam dalam Menciptakan Kurikulum yang Berkualitas

Islam adalah agama yang komprehensif. Jati diri generasi muslim adalah penerapan Islam secara menyeluruh (kafah). Islam memiliki aturan untuk mengatur hubungan individu dengan Sang Pencipta, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia. Semua itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Pendidikan adalah bagian penting dari kehidupan manusia, bahkan menjadi sarana strategis untuk membentuk pemahaman generasi melalui tsaqafah dan metode pengajaran tertentu. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Daulah Islam pada bab "Pengaruh Serangan Misionaris".

Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kurikulum harus berbasis akidah Islam. Akidah adalah asas kehidupan setiap muslim dan juga asas negara Islam.

Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra.:

"Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada dirinya, keluarganya, dan seluruh manusia."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Abu Yasin dalam kitab Usus at-Ta’lim fi Daulah al-Khilafah (Strategi Pendidikan Negara Khilafah) menjelaskan bahwa dalam menyusun kurikulum dan materi pembelajaran, terdapat dua tujuan utama: Pertama, membangun kepribadian Islami — yaitu pola pikir (aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) umat, dengan menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islami ke dalam akal dan jiwa anak didik. Untuk mewujudkan tujuan ini, harus ada negara Khilafah yang menyusunnya.

Kedua, mempersiapkan generasi ahli di berbagai bidang — baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan, dan lainnya) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan sebagainya). Ulama yang mumpuni akan membawa negara dan umat Islam ke puncak kejayaan, bukan menjadi pengekor atau agen pemikiran dan ekonomi negara lain.

Dengan tujuan pendidikan seperti ini, negara akan mampu menjaga akidah generasi. Jika akidah generasi kuat, mereka akan taat secara total kepada syariat Allah, mampu menyelesaikan permasalahan hidup, dan menjauhkan diri dari paham-paham yang menyesatkan, seperti moderasi beragama. Namun, kurikulum semacam ini hanya dapat diterapkan dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah, yakni Daulah Khilafah.

Wallahu a’lam bish-shawab. [ry]


Baca juga:

0 Comments: