Kapitalisme vs Islam: Pajak Membebani, Zakat Menyejahterakan
Oleh Istiana Ayu S. R.
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Kalau mendengar kata “pajak”, hampir semua orang langsung menghela napas. Wajar saja, karena dalam sistem kapitalis, pajak menjadi mesin utama yang menghidupi negara. Mulai dari gaji pejabat, pembangunan jalan, subsidi energi, hingga pembayaran utang negara, semuanya bertumpu pada uang pajak. Masalahnya, beban pajak sering kali terasa timpang.
Data OECD 2023 mencatat, rata-rata negara anggota memiliki rasio pajak 33,9% terhadap PDB. Indonesia? Hanya sekitar 10–11%. Karena penerimaan rendah, pemerintah mencari jalan pintas dengan memperluas basis pajak, misalnya lewat PPN yang dibayar rakyat setiap kali berbelanja. Akibatnya, baik kaya maupun miskin tetap terkena potongan, padahal kemampuan finansial mereka jelas berbeda.
Islam menawarkan perspektif lain. Sistem keuangan Islam tidak bertumpu pada pajak permanen. Ada instrumen khas yang sifatnya syar’i dan terukur, seperti zakat, wakaf, kharaj, jizyah, dan pengelolaan sumber daya alam. Zakat, misalnya, memiliki aturan jelas: siapa yang wajib, berapa persennya, dan siapa yang berhak menerima. Potensinya pun luar biasa, bisa mencapai Rp327 triliun per tahun menurut BAZNAS (2024).
Wakaf bahkan lebih besar lagi. Data Badan Wakaf Indonesia (2024) memperkirakan nilai aset tanah wakaf di Indonesia setara Rp2.000 triliun, sementara potensi wakaf uang mencapai Rp180 triliun per tahun. Jika dua instrumen ini digarap serius, keduanya bisa menjadi motor penggerak ekonomi umat.
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu bahwa “membayar pajak sama dengan zakat dan wakaf” sempat memantik kontroversi (Detik, 13/8/2025). Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) cepat meluruskan. Menurut MUI, zakat adalah ibadah wajib dengan aturan syariat yang ketat, sementara pajak hanyalah kewajiban administratif negara dengan penggunaan yang sangat luas—bahkan bisa untuk belanja yang tidak menyentuh rakyat miskin (Bisnis.com, 18/8/2025). Menyamakan keduanya jelas salah kaprah.
Bedanya makin kentara ketika ditarik lebih jauh. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber permanen dan menutup celah dengan sistem keuangan berbasis bunga (riba). Tak heran jika ketimpangan makin melebar. Menurut Oxfam (2024), 1% orang terkaya dunia menguasai hampir 45% kekayaan global.
Sebaliknya, Islam membangun sistem distribusi kekayaan yang jauh lebih adil. Zakat mengalirkan harta dari orang kaya kepada fakir miskin, wakaf membangun aset jangka panjang untuk pendidikan, kesehatan, hingga sosial, sementara kekayaan alam wajib dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan dikuasai korporasi.
Sejarah mencatat, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, zakat begitu efektif sampai sulit menemukan orang yang layak menerima. Artinya, sistem Islam bukan teori kosong, melainkan pernah teruji dalam realitas sejarah.
Kalau kapitalisme terus bertumpu pada pajak rakyat, Islam justru menyiapkan mekanisme berbeda. Pertama, zakat dijadikan instrumen utama pembiayaan sosial yang dikelola langsung oleh Baitulmal. Kedua, wakaf dikelola secara produktif, misalnya untuk membangun rumah sakit gratis, sekolah berkualitas, atau usaha rakyat. Ketiga, sumber daya alam seperti tambang, hutan, dan energi dikelola negara, lalu hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan umum. Keempat, pajak hanya dipakai dalam kondisi darurat, sifatnya sementara, bukan permanen.
Dengan cara ini, beban rakyat kecil tidak lagi diperas melalui pajak rutin. Kekayaan dialirkan sesuai aturan syariat sehingga tercipta distribusi yang adil dan transparan. Berbeda dengan kapitalisme, di mana rakyat menjadi penopang utama negara, sedangkan dalam Islam, negara berfungsi sebagai pengelola amanah untuk memastikan seluruh rakyat sejahtera.
Menyamakan pajak dengan zakat ibarat menyamakan apel dengan jeruk—sama-sama buah, tetapi jelas berbeda. Pajak adalah kewajiban negara, sementara zakat dan wakaf adalah ibadah syar’i yang menjadi sumber keberkahan.
Kalau Indonesia benar-benar mau mencari sistem ekonomi yang adil, maka jalan Islam dengan zakat, wakaf, dan Baitulmal adalah jawabannya. Dengan itu, kesejahteraan rakyat tidak bergantung pada pajak permanen, melainkan pada distribusi harta yang dirancang Allah untuk menciptakan keadilan.
[An]
Baca juga:
0 Comments: