Kapitalisme Telah Gagal, Sarjana Banyak yang Menganggur
Dra. Rahma Ningsih
(Praktisi Pendidikan)
SSCQMedia.Com — Di Indonesia, lulusan sarjana yang menganggur saat ini mencapai lebih dari satu juta orang. Hal itu terungkap dari materi yang disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli saat menjadi pembicara utama (keynote speech) dalam Kajian Tengah Tahun Indef 2025 di Jakarta, Rabu (2/7/2025). Tercatat, ada 1.010.652 lulusan universitas yang menganggur dari total 7,28 juta pengangguran di Indonesia pada 2025 ini.
Peneliti Forum Analisis dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA), Muhammad Ishak, menilai kondisi ini sebagai potret kegagalan sistemik.
“Bagaimana mungkin negeri yang kaya akan sumber daya alam, dengan penduduk usia produktif melimpah, justru menyisakan lebih dari satu juta sarjana menganggur?” ujarnya kepada Media Umat, Kamis (24/7).
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan negeri ini tidak selaras dengan kebutuhan dunia kerja. Sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan saat ini juga gagal menciptakan lapangan kerja yang cukup dan bermartabat.
Ishak menyebut, ada tiga faktor penyebab lulusan sarjana sulit mendapatkan pekerjaan.
Pertama, ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dan dunia industri. Banyak lulusan tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan pasar. Hal ini terjadi lantaran pemerintah membiarkan berkembangnya jurusan atau kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan siswa dan mahasiswa. Pendidikan dibiarkan berjalan secara mandiri tanpa perhatian serius agar sistem pendidikan mampu menghasilkan lulusan dengan kepribadian baik dan keterampilan yang sesuai kebutuhan.
Kedua, terbatasnya lapangan kerja akibat dominasi ekonomi oligarki. Kekayaan hanya berputar di segelintir elite dan pihak asing, tanpa memberi ruang bagi berkembangnya sektor riil.
Ketiga, sistem ekonomi neoliberalisme menjadikan negara sekadar regulator, bukan pengelola sumber daya yang berpihak kepada rakyat. Akibatnya, lapangan kerja yang seharusnya dapat dibuka justru dihambat oleh kebijakan pro pasar bebas. Salah satunya adalah kebijakan membuka keran impor pangan yang mematikan petani domestik.
Meskipun pemerintah telah mencoba beberapa langkah seperti program Kartu Prakerja, pelatihan vokasi, mendorong UMKM lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR), dan investasi asing, namun menurut Ishak, solusi ini bersifat tambal sulam.
“Program-program itu tidak menyentuh akar masalah, yaitu ketergantungan pada investasi asing, liberalisasi ekonomi, dan hilangnya peran negara dalam menyediakan pekerjaan sebagai kewajiban. Bahkan, outsourcing dan fleksibilitas kerja lewat UU Cipta Kerja justru memperburuk kondisi pekerja. Orang-orang yang menganggur karena tidak sesuai dengan program pemerintah atau tidak terjangkau oleh program yang realitasnya sangat terbatas, dibiarkan begitu saja,” bebernya.
Menurut Ishak, Islam memiliki solusi fundamental. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pekerjaan. Negara bertanggung jawab membuka lapangan kerja melalui pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, bukan menyerahkannya kepada swasta atau asing. Dengan khilafah sebagai institusi politiknya, negara menjalankan fungsi ri‘ayah (pengurusan rakyat) secara total, bukan sekadar melayani pasar.
“Dengan ini, pengangguran bisa ditekan secara signifikan karena negara aktif menciptakan pekerjaan, bukan hanya mengandalkan mekanisme pasar seperti dalam sistem kapitalisme dengan intervensi ala kadarnya,” pungkasnya. [MA]
Baca juga:
0 Comments: