Headlines
Loading...
Kapitalisme Sebabkan Kemiskinan, Islam Hadirkan Kesejahteraan Hakiki

Kapitalisme Sebabkan Kemiskinan, Islam Hadirkan Kesejahteraan Hakiki

Oleh: Novi Kurnia Dewi
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Pemerintah dan Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mengklaim bahwa angka kemiskinan menurun. BPS merilis garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 yang ditetapkan sebesar Rp20.305 per hari, atau setara dengan standar PPP internasional sebesar USD 2,15. Benarkah angka ini sesuai dengan realitas?

Faktanya, berbagai daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan dan garam nasional, seperti Indramayu, justru masih dililit kemiskinan. BBC Indonesia dan Beritasatu mencatat, masyarakat petani dan buruh di wilayah tersebut sulit memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sebagian besar hidup dalam jeratan utang. Pada saat yang sama, gelombang PHK terus terjadi dan angka pengangguran meningkat, terutama di kalangan laki-laki usia produktif. Sungguh ironis, ketika rakyat kelaparan, negara justru sibuk merayakan statistik.

Lebih dari itu, banyak pihak, termasuk ekonom, meragukan validitas angka kemiskinan versi pemerintah. Dalam laporan Tirto.id dikritik bahwa penetapan garis kemiskinan yang begitu rendah (Rp20 ribu per hari) adalah bentuk manipulasi statistik demi menjaga citra ekonomi yang semu. Dalam logika publik, jumlah tersebut bahkan tidak cukup untuk membeli makan tiga kali sehari secara layak, apalagi untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan papan. Inilah wujud nyata dari sistem ekonomi kapitalisme, di mana angka lebih penting daripada manusia.

Akar Kemiskinan Bukan pada Definisi, tetapi Sistem

Masalah utama bukan sekadar data atau indikator kemiskinan, melainkan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Sistem ini telah menciptakan jurang kekayaan yang ekstrem, di mana kekayaan nasional hanya dinikmati oleh segelintir elite. Sementara itu, rakyat dipaksa bersaing dalam pasar bebas tanpa jaminan kebutuhan dasar.

Negara tak lagi berperan sebagai penjamin kesejahteraan, melainkan sekadar fasilitator kepentingan pasar. Alih-alih membenahi distribusi kekayaan dan menyediakan lapangan kerja yang layak, negara lebih sibuk mengatur angka agar terlihat “stabil” di mata investor.

Islam Menawarkan Solusi Sistemik

Di sinilah Islam menawarkan solusi sistemik dan menyeluruh. Dalam sistem ekonomi Islam, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok setiap individu, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Pemenuhan itu dilakukan bukan dengan pendekatan pasar, melainkan dengan pendekatan pelayanan (ri‘ayah syu’unil ummah).

Khilafah Islamiyah tidak mengukur kemiskinan berdasarkan angka PPP atau standar lembaga internasional, melainkan berdasarkan realitas pemenuhan kebutuhan. Bila ada satu saja warga yang tidak bisa makan, sekolah, atau berobat karena tidak mampu, maka negara harus turun tangan langsung—tanpa syarat.

Sumber daya alam seperti tambang, laut, energi, dan hutan tidak boleh dimonopoli oleh swasta atau asing. Semuanya dikelola oleh negara, dan hasilnya didistribusikan untuk menjamin kesejahteraan umat. Tak heran bila dalam sejarah Islam, kemiskinan dapat dihapuskan secara riil, bukan sekadar di atas kertas.

Penutup

Kita perlu jujur bahwa kemiskinan bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan masalah sistemik. Sistem kapitalisme terbukti gagal menyejahterakan rakyat secara merata. Manipulasi statistik hanya menambah luka, bukan memberi solusi.

Sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan sistem alternatif, yakni sistem Islam yang telah terbukti menyejahterakan manusia lintas zaman dan tempat. Bukan sekadar mengganti angka, melainkan mengganti arah pembangunan dan paradigma kesejahteraan yang lebih manusiawi dan ilahiah. []

Baca juga:

0 Comments: