Oleh: Wawa
(Aktivis muslimah Kalbar)
SSCQMedia.Com — Palestina, tanah umat muslim yang tengah mengalami genosida dari Zionis Israel sejak Oktober 2023, kini hampir genap dua tahun. Tak ada kemerdekaan, bahkan kehidupan yang tenang pun tidak ada. Yang ada hanyalah ancaman dan serangan tanpa henti. Anak-anak, perempuan, orang dewasa, bahkan bayi tidak luput dari penyerangan. Kekejian dan kebiadaban ini disaksikan dunia yang bungkam. Bahkan, negara-negara muslim hari ini pun diam tak berdaya.
Berita terbaru menyebutkan bahwa warga Gaza mengalami kelaparan akut dan malnutrisi sehingga banyak yang meninggal dunia. Sebagaimana diberitakan ANTARA News.com, kelaparan di Gaza semakin parah, dengan jumlah korban malnutrisi terus meningkat. Dalam 24 jam terakhir, lima orang meninggal, sehingga total kematian mencapai sekitar 200 jiwa, setengahnya anak-anak. Sekitar 9.000 perempuan dan anak membutuhkan perawatan darurat, dan hampir sepertiga penduduk mengalami kelaparan berhari-hari. Sepanjang Juli 2025, tercatat 63 kematian akibat malnutrisi, termasuk 24 balita (08/08/2025).
Miris sekali melihat kondisi Gaza hari demi hari. Bantuan yang diberikan pun tidak cukup untuk menuntaskan kasus kelaparan ini, bahkan untuk sekadar mengurangi pun kemungkinan sangat kecil.
Hal ini disebabkan oleh blokade yang dilakukan Israel terhadap seluruh jalur Gaza. Sejak 2 Maret 2025, Israel menutup seluruh jalur masuk ke Gaza dan menghentikan hampir semua aliran makanan serta bantuan medis yang sangat dibutuhkan.
Laporan UNRWA menunjukkan kasus kekurangan gizi pada balita meningkat dua kali lipat antara Maret hingga Juni 2025. WHO juga menyebut situasi ini sangat mengkhawatirkan, dengan hampir satu dari lima anak balita di Kota Gaza mengalami malnutrisi akut. Kondisi ini semakin sulit bagi penyandang disabilitas yang memiliki keterbatasan mobilitas dan alat bantu, sehingga mereka kesulitan mengakses bantuan, baik melalui jalur darat maupun udara, apalagi di tengah reruntuhan dan zona konflik. Jumlah penyandang disabilitas pun bertambah akibat serangan dan pemboman yang terus berlanjut (republika.co.id, 08/08/2025).
Kondisi Gaza pada kasus kelaparan ini termasuk dalam kategori politik sistematis. Artinya, kelaparan di Gaza memang sudah terencana sebagai bagian dari strategi Zionis untuk mengosongkan Gaza secara perlahan. Hal ini terlihat jelas dari blokade yang dilakukan. Selain itu, bantuan yang masuk pun dibatasi, sehingga memperkuat dugaan bahwa ini adalah bagian dari strategi genosida dengan menjadikan kelaparan sebagai senjata.
Miris dan tragis melihat negara-negara muslim hari ini yang tak mampu membantu dalam permasalahan ini. Hal ini disebabkan adanya kepentingan politik yang membuat penguasa muslim tidak berdaya untuk bertindak. Ini juga bagian dari proyek sistem hari ini, yakni kapitalisme sekuler yang sengaja melemahkan negeri-negeri muslim melalui ancaman dan tekanan.
Selain itu, karena ketergantungan negeri muslim pada negara adidaya, terutama Amerika Serikat, mereka akhirnya bungkam demi kepentingan politik. Ditambah sekat nasionalisme yang membuat umat terpecah-pecah, meski mereka adalah saudara seiman yang tengah menghadapi kondisi sulit dan rumit.
Maka, perlu adanya solusi yang hakiki. Sebab, masalah Gaza tidak bisa hanya diselesaikan dengan rasa simpati, bantuan materi, dan doa saja. Gaza membutuhkan bantuan dalam skala yang lebih besar. Zionis hanya bisa dilawan dengan bahasa perang, yakni jihad yang dikerahkan oleh penguasa melalui kekuatan militer untuk melawan Zionis Israel. Oleh karena itu, solusi yang harus disuarakan adalah jihad di bawah satu kepemimpinan, sebuah institusi bernama khilafah. [Rn]
Baca juga:
0 Comments: