Oleh: Rita Mutiara
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Hidup bukanlah kumpulan “kebetulan” yang datang begitu saja. Setiap peristiwa, baik yang membuat kita bahagia maupun sedih, adalah bagian dari takdir Allah Yang Maha Kuasa.
Dulu, menerima takdir bukanlah hal yang mudah bagi saya. Dibutuhkan proses panjang, berliku, dan perenungan yang seolah sulit berakhir.
Ketika saya menempuh perjalanan Jakarta–Bandung melewati Puncak dan melihat deretan vila, dalam hati saya bertanya,
“Mengapa saya bukan anak pemilik vila yang cantik itu?”
Saya yang masih belia saat itu sedang berproses untuk bisa mencintai hidup saya sendiri. Seiring berjalannya waktu, saya mulai belajar bahwa setiap orang mempunyai takdir masing-masing. Apa yang tampak indah di luar belum tentu damai di dalam. Sebaliknya, apa yang tampak sederhana dalam hidup saya bisa jadi adalah nikmat yang luput saya syukuri.
Saya mengambil hikmah dari kisah musisi Inggris Cat Stevens yang memeluk Islam pada Desember 1977 saat berusia 29 tahun.
Sebelumnya, dia telah memiliki ketenaran dan harta melimpah, namun semua itu tidak memuaskan hatinya. Hal itu menambah keyakinan saya bahwa materi dan ketenaran tidak bisa mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian. Oleh karena itu, saya menyadari, mengapa saya menghayalkan kemewahan dalam hidup, padahal tujuan hidup yang hakiki bukanlah dipuaskan dengan materi melimpah dan ketenaran, melainkan dengan kedamaian hati.
Cat Stevens menemukan kedamaian setelah menjadi seorang muslim. Ia langsung mengganti namanya menjadi Yusuf Islam. Sosoknya menarik perhatian saya ketika saya melihat sebuah foto di media massa: ia mengenakan baju gamis yang biasa digunakan laki-laki Arab. Padahal sebelumnya, ia adalah musisi papan atas asal Inggris. Ketika ditanya wartawan mengenai penampilannya, ia menjawab bahwa ia sedang memantapkan diri menjadi muslim.
Yusuf Islam rela meninggalkan karier bermusiknya beserta segala kemewahan dan gemerlap dunia. Kemudian, ia tampil sebagai figur muslim sejati. Jiwa yang sebelumnya merasa kosong kini terpuaskan dengan nilai-nilai Islam. Yusuf Islam kini banyak menyumbang dana untuk kegiatan dakwah di Inggris, bahkan belakangan ia kembali menciptakan lagu-lagu Islami.
Hijrahnya Yusuf Islam memantapkan diri saya untuk mengenakan busana muslimah sesuai syariat. Saya bertekad mendobrak tradisi keluarga dan menutup aurat sebagai identitas muslimah.
Semua mazhab ulama mewajibkan muslimah mengenakan busana sesuai syariat. Jadi, tidak ada lagi yang perlu diragukan.
Perjuangan dakwah Yusuf Islam di Inggris luar biasa. Ia mendirikan sekolah Islam tingkat dasar dan PAUD (primary school). Namun, pendirian sekolah ini tidak mudah. Bukan pembangunan gedung yang menjadi tantangan, melainkan pengurusan perizinan yang sulit. Lobi-lobi Yahudi di Inggris sangat kuat. Mereka tidak hanya berada di lingkaran kekuasaan pusat, tetapi juga di wilayah anggota senat (legislatif) tempat sekolah itu akan didirikan. Parlemen di sana dipengaruhi kelompok Yahudi Inggris yang berusaha dengan berbagai cara menghalangi rencana dan ide besar Yusuf Islam untuk mendirikan sekolah bernafaskan Islam.
Namun, perjuangan mendirikan sekolah Islam terus berlanjut, meski dihalangi kekuatan-kekuatan yang tidak suka Islam berkembang di Inggris. Meski begitu, banyak orang Inggris asli yang bersimpati kepada Yusuf Islam dan turut membantu terwujudnya sekolah tersebut.
Inggris mengaku sebagai negara dengan pemerintahan demokratis. Namun, jika sudah menyangkut persoalan keagamaan, terutama Islam, demokrasi itu tidak selalu dijalankan dengan adil. Terlebih lagi, lobi-lobi Yahudi berperan besar di pemerintahan. Perjuangan Yusuf Islam yang sedemikian teguh menggugah kesadaran kita untuk bertanya pada diri sendiri: apa kontribusi kita terhadap umat?
Bagi pejuang Islam, diyakini bahwa di balik kesulitan ada kemudahan. Saya dan teman-teman pun merasakan kemudahan ketika menjalankan dakwah di kampus. Ketika kita menciptakan ruang untuk lebih dekat kepada-Nya dan memiliki kepasrahan yang kuat kepada Allah setelah berusaha dengan baik, kita akan mendapatkan jalan keluar yang baik. Tidak menyerah, tetapi berserah. Tidak berhenti berusaha, dan tidak mengeluh.
Seiring waktu, pandangan hidup saya mulai berubah. Saya mulai melihat bahwa hidup bukan soal cepat atau lambat, kaya atau miskin, sukses atau gagal. Hidup adalah bagaimana kita menjalani setiap harinya dengan keikhlasan dan penuh syukur.
Mencintai kehidupan bukan berarti semuanya akan berjalan sesuai rencana. Tetapi, bagaimana kita bisa tetap bersyukur pada setiap kejadian, karena banyak hal dapat berubah tanpa bisa kita kendalikan. Kita tetap menerima meski hasil tak sesuai harapan. Kita tetap berbuat baik meski orang lain tak menghargai. Karena hidup bukan tentang mereka, melainkan tentang hubungan kita dengan Allah.
Hendaknya kita tidak menyalahkan keadaan, melainkan fokus pada masa depan. Saat saya bisa menerima apa pun yang telah terjadi, baik atau buruk, saat itulah hidup menjadi ringan dan bermakna.
Melakukan refleksi diri itu penting. Setelahnya, kita belajar mencintai kehidupan dengan lebih bijak. Kehidupan tidak akan selalu mudah, tetapi akan terasa indah saat kita menjalaninya dengan hati yang lapang. Dan hati yang lapang hanya akan kita miliki saat kita berhenti mengutuk takdir dan mulai mensyukurinya.
Hidup ini adalah hadiah. Bahkan dalam luka pun ada berkah. Bahkan dalam kegagalan pun ada hikmah. Bahkan dalam sepi pun kita bisa menemukan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Dengan demikian, mulailah berdakwah setelah selesai mengurus urusan dengan diri sendiri—menerima apa pun takdir yang telah Allah tentukan bagi kita. Dengan begitu, niat berdakwah akan lurus semata-mata untuk mencari rida Allah, bukan demi materi dan popularitas. []
Baca juga:
0 Comments: