Oleh: Ummu Fahhala
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com—Di tengah upaya keras pemerintah menggenjot penerimaan pajak yang semakin seret, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pajak setara dengan zakat dan wakaf (CNBC Indonesia, 14 Agustus 2025).
Pajak masih menjadi tulang punggung APBN. Pemerintah bahkan mencari objek baru untuk dipajaki, seperti pajak warisan, pajak karbon, hingga pajak rumah ketiga (CNN Indonesia, 12 Agustus 2025). Yang lebih memberatkan, tarif pajak lama pun terus naik, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (BBC Indonesia, 15 Agustus 2025).
Kenyataan ini membuat rakyat semakin terbebani. Pajak yang seharusnya menjadi sarana kesejahteraan justru menambah beban hidup masyarakat kecil.
Pernyataan Sri Mulyani bahwa pajak sama dengan zakat dan wakaf menimbulkan perdebatan. Perbedaannya sangat signifikan. Zakat dan wakaf adalah ibadah yang memiliki aturan baku dalam Islam, sementara pajak hanyalah instrumen ekonomi ciptaan manusia dalam sistem kapitalisme.
Ekonom Islam, Dr. Adiwarman Karim, pernah menegaskan bahwa zakat berbeda secara fundamental dengan pajak. Zakat adalah kewajiban spiritual yang penerima serta pengelolaannya sudah ditentukan secara jelas, sedangkan pajak fleksibel sesuai kebutuhan negara kapitalis (Kompas, 2019). Dari sini jelas bahwa menyamakan pajak dengan zakat atau wakaf adalah penyederhanaan yang menyesatkan.
Kapitalisme: Pajak dan Utang Jadi Tulang Punggung
Dalam sistem kapitalisme, sumber utama pendapatan negara adalah pajak dan utang. Sumber daya alam diserahkan kepada swasta, sementara rakyat terus diperas. Negara mencari dana dari rakyat, bukan dari kekayaan alam yang melimpah.
Akibatnya, rakyat miskin semakin terhimpit. Sementara itu, para kapitalis yang menguasai tambang, hutan, dan energi justru makin kaya. Mereka mendapatkan berbagai fasilitas, bahkan sering dilindungi dengan undang-undang yang berpihak kepada kepentingan mereka.
Lebih jauh, uang pajak rakyat miskin tidak sepenuhnya kembali untuk kesejahteraan mereka. Sebagian besar justru digunakan untuk proyek infrastruktur yang menguntungkan pemodal besar. Pemerintah bahkan memberikan amnesti pajak kepada konglomerat, sementara rakyat kecil dikejar hingga ke warisan dan rumah ketiganya.
Pajak dalam sistem kapitalisme terbukti zalim. Ia menghisap harta rakyat, termasuk mereka yang masih berjuang untuk bertahan hidup. Alih-alih menyejahterakan, pajak justru memperlebar jurang antara si miskin dan si kaya.
Pajak dalam Islam
Islam menawarkan sistem yang berbeda. Pajak bukan tulang punggung APBN. Negara dalam Islam memiliki banyak sumber pemasukan: zakat, kharaj, fai, ghanimah, pengelolaan sumber daya alam, hingga kepemilikan negara.
Pajak dalam Islam disebut dharibah, hanya dipungut dari orang kaya saja dan dalam kondisi darurat, misalnya ketika kas Baitul Mal kosong. Selain itu, hukumnya haram. Rasulullah saw. dan para khalifah setelah beliau menerapkannya dengan tegas dan adil.
Zakat pun berbeda dengan pajak. Allah Swt. telah menetapkan delapan asnaf penerima zakat dalam QS. At-Taubah ayat 60. Zakat tidak bisa digunakan untuk membangun jalan, rumah sakit, atau subsidi industri. Zakat adalah ibadah dengan aturan yang tidak boleh diubah manusia.
Baitul Mal adalah institusi negara yang mengelola seluruh harta umat. Pemasukannya tidak hanya dari zakat, tetapi juga dari kekayaan alam yang dikelola langsung oleh negara. Minyak, gas, emas, perak, dan hasil tambang lainnya tidak boleh diprivatisasi. Semuanya untuk rakyat.
Negara Islam juga tidak mengenal defisit APBN. Pemasukan yang besar dari kepemilikan umum dan negara cukup untuk membiayai kebutuhan rakyat: pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi kebutuhan pokok, bahkan biaya jihad. Pajak hanya ditarik saat darurat dan sifatnya sementara.
Penutup
Perbandingan pajak, zakat, dan wakaf dalam kapitalisme dan Islam menunjukkan jurang yang sangat dalam. Pajak dijadikan oleh kapitalisme sebagai mesin ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Islam justru menempatkan pajak sebagai instrumen darurat, sementara sumber utama negara berasal dari kekayaan yang dikelola secara adil untuk rakyat.
Maka, jalan keluar sejati bukan sekadar menambah objek pajak baru atau menaikkan tarif pajak lama, melainkan kembali kepada sistem ekonomi Islam. Sistem yang mengedepankan keadilan, menutup celah kezaliman, dan memastikan setiap rakyat hidup dalam kesejahteraan.
Wallahualam. [My]
Baca juga:
0 Comments: