Headlines
Loading...
Pajak Jadi Beban, Rakyat Kian Tercekik

Pajak Jadi Beban, Rakyat Kian Tercekik

Oleh: Ummu Ryan
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Masih dalam suasana peringatan kemerdekaan Indonesia, rakyat kembali diberi “hadiah” berupa kenaikan pajak. Diberitakan bahwa Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan 10 jenis pajak baru yang diklaim dapat menghasilkan Rp388,2 triliun. Usulan ini disampaikan kepada Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu.

Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Colius Media Wahyu Askar, meminta pemerintah tidak “berburu di kebun binatang” atau hanya fokus menyasar wajib pajak yang sudah teridentifikasi. Ia juga mengungkapkan, “Ini sengaja kami munculkan ke publik sebagai sebuah perdebatan agar kita bisa melihat secara keseluruhan bahwa ada cara lain, alternatif strategi lain, yang sangat impactful dalam meningkatkan potensi perpajakan kita,” kata Wahyu pada peluncuran riset berjudul ‘Dengan Hormat Pejabat Negara Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang’ di kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (18/8/2025), dikutip dari CNN Indonesia.

Pada kesempatan lain, dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara. Dalam pidatonya, ia mengatakan, “Kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf, pasalnya ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan.”
Ia juga menambahkan, “Pada dasarnya mereka yang mampu harus menggunakan kemampuannya, karena di dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain,” ujarnya, Rabu (13/8/2025), CNBC Indonesia.

Gelombang Protes Bermunculan

Pernyataan Menkeu yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf ini mengundang gelombang protes serta kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI). Mereka menilai perbandingan tersebut merupakan upaya yang dipaksakan dan berpotensi menyesatkan umat. Sebab, pajak berbeda secara hakikat maupun tujuan dengan zakat dan wakaf.

Diduga, pernyataan Sri Mulyani itu bertujuan untuk menggenjot penerimaan pajak yang sedang seret. Faktanya, dalam sistem kapitalisme yang dianut negeri ini, pajak menjadi penyokong utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tak berhenti di situ, pemerintah kini juga mulai mencari objek pajak baru, seperti pajak warisan, karbon, hingga rumah. Padahal, pajak yang sudah ada saja—seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)—telah memberatkan rakyat, terlebih kini tarifnya dinaikkan berkali-kali lipat.

Inilah wajah negara yang menerapkan sistem kapitalisme: menjadikan pajak dan utang sebagai tulang punggung ekonomi, sementara pengelolaan sumber daya alam (SDA) diserahkan kepada swasta/kapitalis. Alhasil, rakyat makin tercekik dengan berbagai pungutan, sedangkan para kapitalis kian kaya raya. Bahkan, undang-undang yang disahkan pun cenderung berpihak pada kepentingan kapitalis, dengan mengabaikan kesejahteraan rakyat.

Tidak heran jika pajak dalam sistem kapitalisme bersifat zalim. Rakyat miskin dipaksa menyetorkan hartanya kepada negara, tetapi hasil pungutan itu bukan untuk kesejahteraan mereka. Sebaliknya, dana tersebut banyak terserap dalam proyek pembangunan yang justru menguntungkan para kapitalis.

Lebih parah lagi, kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme memberikan keistimewaan kepada konglomerat melalui program-program seperti tax amnesty. Semakin jelaslah bahwa pajak dalam sistem kapitalisme hanyalah alat eksploitasi rakyat demi kepentingan segelintir orang.

Pajak dalam Islam

Dalam Islam memang ada pungutan yang ditarik dari rakyat, yakni dharibah, tetapi sifatnya temporer dan terbatas. Pungutan ini hanya diberlakukan ketika kas negara benar-benar kosong, dan hanya diambil dari laki-laki muslim kaya raya, dengan tujuan memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak. Jelas berbeda dengan sistem kapitalisme yang mencekik rakyat.

Zakat dan wakaf tidak bisa disamakan dengan pajak. Dalam Islam, zakat merupakan salah satu sumber pemasukan Baitul Mal. Syariat telah menegaskan siapa saja yang berhak menerimanya, yakni delapan golongan (asnaf), sebagaimana firman Allah Swt.:

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah: 60)

Dengan demikian, zakat memiliki penyaluran distribusi yang jelas dan tidak boleh dialihkan untuk proyek pembangunan.

Dalam sistem Islam, pemasukan negara/Baitul Mal tidak hanya berasal dari zakat, tetapi juga dari pengelolaan SDA milik umum yang dikelola langsung oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat.

Kesejahteraan sejati bagi rakyat hanya akan terwujud bila sistem ekonomi Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai negara Khilafah.

Wallahualam. [My]

Baca juga:

0 Comments: