Oleh. Novi Ummu Mafa
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Publik digemparkan dengan keputusan pengalihan fasilitas rumah dinas anggota DPR menjadi tunjangan perumahan senilai Rp50 juta per bulan per anggota untuk periode DPR 2024–2029 (Tempo.co, 21/8/2025). Kebijakan yang berlaku sejak Oktober 2024 ini disebut sebagai kompensasi atas penghentian fasilitas rumah dinas di Kompleks Kalibata yang dialihkan ke negara.
Kebijakan ini menuai kritik keras dari Indonesia Corruption Watch (ICW). ICW menilai kebijakan tersebut merupakan bentuk pemborosan anggaran negara yang tidak prorakyat. Total anggarannya diperkirakan mencapai Rp1,74 triliun dalam lima tahun. Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, menduga kuat tunjangan ini dimaksudkan untuk menutup biaya politik, termasuk ongkos pemilu serta jaringan patronase politik. Dengan demikian, kebijakan ini tidak adil secara etika publik (Kompas.com, 21/8/2025). Terlebih lagi, tunjangan tersebut diterima langsung ke rekening pribadi anggota DPR, sehingga rawan penyalahgunaan dan minim kontrol publik.
Cerminan Sistem Kapitalisme Sekuler
Sikap anggota DPR yang memilih hidup bermewah-mewahan adalah cermin nyata dari sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, sehingga pejabat merasa tidak berdosa ketika menggunakan uang rakyat demi kepuasan pribadi. Empati sosial pun terkikis, berganti kerakusan dan orientasi materi.
Dalam paradigma kapitalisme, jabatan dipandang sebagai jalan pintas mengakumulasi kekayaan. Tidak heran jika para pejabat silih berganti menikmati fasilitas mewah dari uang rakyat, sementara kebijakan prorakyat hanya menjadi jargon kosong. Demokrasi pun terbukti hanya menjadi kedok bagi segelintir elite untuk mempertahankan privilese mereka.
Padahal, dalam Islam kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah saw. bersabda:
Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan umatku lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah ia. Dan siapa saja yang mengurusi urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka lembutlah Engkau kepadanya. (HR Muslim)
Hadis ini menjadi peringatan keras bagi para penguasa. Faktanya, banyak kebijakan justru menyulitkan rakyat: kenaikan harga kebutuhan pokok, beban pajak yang mencekik, hingga pesta kekuasaan yang dibiayai dari keringat rakyat. Semua ini adalah buah kepemimpinan sekuler kapitalistik yang mengeksploitasi rakyat.
Solusi Tuntas dalam Sistem Islam
Islam menghadirkan solusi tuntas melalui sistem pemerintahan Khilafah. Dalam Khilafah, pejabat tidak diperbolehkan menggunakan anggaran negara untuk memenuhi gaya hidup mewah. Mereka dituntut hidup sederhana, peka terhadap penderitaan rakyat, serta mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi. Sebab, tugas utama pemimpin adalah hirasat ad-din wa siyasat ad-dunya—menjaga agama dan mengatur urusan dunia umat.
Sejarah mencatat teladan gemilang, seperti sahabat Salman al-Farisi ra. yang diangkat menjadi gubernur Madain pada masa Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau hidup sederhana, berbaur dengan rakyat, bahkan rela memanggul barang dagangan di pasar. Tidak ada kesenjangan antara pemimpin dan rakyat, sebab kepemimpinan dipahami sebagai amanah, bukan privilese.
Inilah model kepemimpinan yang didambakan umat: pemimpin bertakwa, pelayan rakyat, dan pengayom urusan umat. Kepemimpinan semacam ini hanya dapat terwujud dalam sistem Islam, yakni Khilafah. Sebaliknya, demokrasi kapitalisme telah terbukti gagal melahirkan pemimpin hedonis yang tega berpesta di atas penderitaan rakyat. [Hz]
Baca juga:
0 Comments: