Headlines
Loading...
Delapan Dekade Merdeka, Jaminan Kesehatan Belum Merata

Delapan Dekade Merdeka, Jaminan Kesehatan Belum Merata

Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)

SSCQMedia.Com—Kabar tewasnya balita Raya (4) di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, membuat publik geger. Raya diduga tewas akibat infeksi cacing dan TBC akut karena dari tubuhnya ditemukan cacing seberat 1 kg dan sebagian masih hidup.

Sebelum tewas, Raya dievakuasi oleh pegiat sosial Tim Rumah Teduh Sahabat dalam kondisi tidak sadarkan diri. Ironinya, Tim Rumah Teduh kesulitan untuk mengurus biaya rumah sakit karena Raya tidak tercatat sebagai penerima BPJS Kesehatan. Pihak rumah sakit juga menyebutkan bahwa Raya dan keluarganya tidak memiliki administrasi kependudukan, seperti Kartu Keluarga dan dokumen lainnya (kumparannews, 20-8-2025).

Ironi Dunia Kesehatan

Fenomena rakyat miskin tidak mendapatkan akses kesehatan yang layak merupakan keniscayaan dalam aturan hidup yang berlandaskan sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, negara dan para pemangku kebijakan sebagai pihak yang bertanggung jawab tidak menjalankan perannya secara maksimal. 

Sistem yang berorientasi pada materi ini juga telah melahirkan sifat individualisme pada masyarakat. Ini terlihat dari kasus di atas, korban bukan dievakuasi oleh pihak yang bertanggung jawab, tetangga, atau masyarakat sekitar, melainkan oleh tim relawan.

Mirisnya lagi, pemerintah baru merespons setelah kasus ini menjadi perbincangan publik. Pemerintah pun berjanji akan memberi sanksi tegas kepada pihak-pihak yang abai. 

Fakta ini menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan sosial, sanitasi buruk, serta sistem kesehatan yang belum sepenuhnya menjangkau kelompok rentan. BPJS Kesehatan yang disebut-sebut sebagai jaminan sosial bagi masyarakat, nyatanya tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan.

Slogan ‘mudah, cepat, dan setara’ seolah pemanis karena faktanya, fasilitas kesehatan tidaklah didapat secara mudah, cepat, dan setara. Terlebih bagi rakyat miskin, birokrasinya sulit dan berbelit. Rakyat tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, kecuali memiliki kemampuan finansial.

‘Gotong royong semua tertolong’ sebagai prinsip dasar program jaminan kesehatan kian mempertegas bahwa sektor ini bukan didesain untuk menjamin kesehatan seluruh lapisan masyarakat. Kesehatan bukan pula menjadi tanggung jawab negara, melainkan tanggung jawab bersama masyarakat. 

Oleh karena itu, tidak heran jika fasilitas kesehatan yang memadai hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar mahal. Sementara rakyat miskin cukup dengan pelayanan seadanya. Sehat seolah barang mahal yang tidak bisa didapatkan oleh masyarakat ekonomi bawah. 

Pemerintah sebagai pengurus rakyat cenderung menjadi regulator. Alih-alih bertanggung jawab dan memenuhi hak dasar rakyat, pemangku kebijakan justru mengeluarkan regulasi yang memuluskan kaum kapital dalam menguasai berbagai sektor, termasuk layanan kesehatan.

Klinik atau rumah sakit dengan fasilitas lengkap berdiri megah. Namun sayangnya, sebagian fasilitas kesehatan tersebut adalah milik perorangan atau swasta. Alhasil, ketika ingin berobat, pasien harus membayar mahal jika tidak memiliki kartu jaminan kesehatan. 

Bukan hanya itu, klinik dan rumah sakit dengan fasilitas lengkap terpusat di kawasan perkotaan. Sementara akses dari desa menuju kota sulit karena berbagai faktor, seperti jalanan rusak, jauhnya jarak tempuh, dan lain-lain. Kondisi ini tentunya membawa dampak negatif, seperti kematian akibat terlambat mendapatkan penanganan.

Fakta ini seolah menunjukkan bahwa layanan kesehatan tidak ubahnya seperti komoditas bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Kalau sudah begini, rakyat miskin hanya bisa pasrah. Bahkan, timbul istilah ‘orang miskin dilarang sakit’ karena mahalnya layanan kesehatan.

Layanan Kesehatan dalam Daulah Islam

Islam memandang, layanan kesehatan merupakan hak dasar setiap individu. Layaknya kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, dan papan, maka kesehatan juga menempati posisi yang sama dan wajib dipenuhi oleh negara. 

Segala upaya yang berkaitan dengan kesehatan, seperti sehat fisik, mental, atau jiwa adalah tanggung jawab negara. Begitu pula dengan kesehatan umum, seperti lingkungan, sanitasi, dan lain-lain. Semua itu diamanahkan Islam kepada negara melalui aparat, mulai dari level pusat hingga daerah serta pelaksana di lapangan.

Negara juga menyediakan sarana dan prasarana kesehatan sehingga bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat, baik berupa pengobatan maupun rehabilitasi bagi yang membutuhkan penanganan serius. Semua pasien diperlakukan sama tanpa membedakan kaya atau miskin.

Selain upaya pengobatan, negara juga melakukan tindakan pencegahan agar masyarakat tidak jatuh sakit, di antaranya adalah menyediakan rumah yang layak huni, sanitasi yang baik, makanan bergizi, dan lain-lain. Semua itu terkoordinir dengan baik dari pusat hingga ke pelosok daerah.

Terkait pembiayaan layanan kesehatan, negara memiliki pemasukan tetap dari pengelolaan SDA sebagai harta milik umum. SDA tersebut akan dikelola oleh negara berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.  

Dengan demikian, tidak ada kasus pasien yang ditolak rumah sakit hanya karena miskin. Sebab, negara telah menjamin kesehatan seluruh masyarakat secara mudah, bahkan gratis. Seorang pemimpin juga memahami bahwa rakyat adalah amanah dan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.

Dari Jabir ra, dari Abu Thalhah ra dan dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah Muhammad saw. bersabda,

“Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti yang tidak akan diajak bicara, tidak dilihat dan tidak diampuni dosa mereka oleh Allah, bahkan mereka abadi selamanya di dalam neraka dengan siksaan yang pedih.” Ibnu Abbas berkata, “Siapakah mereka, Ya Rasulullah?” Nabi Shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Yaitu para ulama yang mencari dunia dengan menjual agamanya, para penguasa yang memberlakukan undang-undang yang mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya, dan para penyebar fitnah.”
(HR Bukhari dan Muslim)

Khatimah

Pelayanan kesehatan terbaik hanya didapatkan ketika negara menerapkan aturan Islam. Pemerintah menjalankan perannya sebagai penanggung jawab rakyat. Kisah Khalifah Umar bin Khattab cukup menjadi teladan bagi penguasa dan para pejabatnya. 

Khalifah Umar dan istrinya pernah membantu keluarga Badui ketika tidak seorang pun membantunya. Ia memikul gandum, sedangkan sang istri membantu persalinan. 

Sungguh, sosok pemimpin yang demikian hanya lahir dari sistem Islam—pemimpin yang bekerja lillahi ta‘ala dan hanya takut kepada Allah Swt.

Wallahu a’lam. [My]


Baca juga:

0 Comments: