Oleh: Wilda Nusva Lilasari, S.M
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com —Dari HR. Bukhari dan Muslim disampaikan bahwa, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.”
Maksud dari cinta di sini bukan hanya cinta kepada pasangan atau keluarga, tetapi juga kepada saudara seiman. Apalagi, ketika kita berbicara tentang cinta, pasti tidak bisa terlepas dari adanya rasa pengorbanan terhadap orang yang kita cintai.
Seperti halnya ketika kita mencintai seseorang, saat ia mengalami kesusahan atau menjalani hari-hari yang buruk, tentu kita ingin membantunya agar terbebas dari kekhawatiran dan kesulitan tersebut.
Hadis ini menjadi salah satu alasan terkuat bagi kita untuk menolong saudara di Gaza. Karena spirit keimanan, kita berupaya melakukan banyak hal demi mereka. Mengingat hadis adalah salah satu sumber hukum Islam yang harus diamalkan, bukankah sudah seharusnya kita melaksanakan berbagai aktivitas berdasarkan sumber hukum Islam agar bernilai ibadah?
Hari ini, derita saudara kita di Gaza tak berkesudahan. Bom tak henti menggempur, persediaan air bersih, obat-obatan, dan makanan kian menipis. Truk bantuan makanan banyak yang tidak bisa masuk karena pintu Rafah ditutup. Bantuan yang menumpuk di perbatasan Mesir dan Yaman seakan menjadi saksi betapa wilayah Gaza ingin dikosongkan secara paksa. Pastilah ada keinginan kuat dalam hati kita untuk menolong saudara seiman di sana.
Korban genosida terus bertambah. Bahkan WHO mencatat, 2,1 juta anak Gaza terancam punah akibat starving genocide yang terjadi bersamaan dengan serangan bom. Melihat angka ini, timbul pertanyaan: sampai angka berapakah kita harus menunggu?
Organisasi internasional seperti WHO atau PBB hanya bisa memberikan data. Mahkamah Internasional pun sebatas mengeluarkan surat penangkapan terhadap Benyamin Netanyahu atas tindakan genosida. Faktanya, tidak ada efek nyata dari surat itu. Respon negara-negara dunia pun sama: sebatas kecaman dan pernyataan keberpihakan, tanpa pengaruh nyata untuk menghentikan genosida.
Negara-negara muslim pun masih sibuk dengan kepentingannya masing-masing, terikat oleh berbagai perjanjian internasional. Raja Salman, misalnya, yang kita ketahui sebagai pemimpin Arab Saudi—negara dengan kekayaan berlimpah—hanya bisa berkoar dan berdalih bahwa ada aturan internasional yang tidak bisa dilanggar untuk menolong Gaza. Jika mereka saja demikian, apalagi kita? Lalu siapa lagi yang bisa diharapkan menjadi solusi dari masalah ini?
Kondisi Gaza yang sudah genting menuntut kita berpikir lebih jauh. Bantuan sosial dan kemanusiaan saja tidak cukup. Anak-anak Gaza berada di ambang kepunahan akibat kelaparan akut. Bantuan yang diperlukan bukan sekadar mengirim makanan lewat laut atau udara, melainkan bantuan politik yang mampu memberikan efek dahsyat. Contohnya, bagaimana agar pintu Rafah bisa terbuka. Dan hal itu jelas membutuhkan kebijakan suatu negara agar pasokan makanan bisa terus masuk tanpa hambatan.
Sebenarnya, akar masalah Gaza adalah perebutan wilayah umat Islam oleh Zionis dengan dukungan negara adidaya, khususnya Inggris dan Amerika Serikat. Mereka tahu Gaza adalah jantung umat Islam, pusat kekuatan kaum muslim, dengan potensi strategis di bidang ekonomi dan politik.
Jika belajar dari sejarah, perebutan ini sudah berulang. Salah satunya pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II. Saat itu, antek Yahudi, Theodor Herzl, meminta khalifah menjual tanah Palestina dengan berbagai bujukan. Namun sang khalifah marah besar dan berkata, “Tidak akan pernah aku jual. Aku tidak berani memberikan tanah umat Islam kepada siapa pun, walau nyawa menjadi taruhannya.”
Herzl dan para anteknya pun mundur, karena takut dengan sistem negara Khilafah yang saat itu menaungi lebih dari 50 wilayah dengan kekuatan militer besar yang siap diterjunkan membela Palestina.
Berbeda dengan hari ini. Khilafah sudah tidak ada, dan Zionis pun berleluasa merebut Gaza. Wajar jika terasa sulit menolong saudara muslim di sana. Zionis tidak takut dengan bantuan kemanusiaan, tidak takut dengan negara-negara muslim yang hidup dalam sistem sekuler, yang hanya bisa mengecam tanpa tindakan nyata. Zionis tahu betul, negara-negara muslim justru menjalin kerja sama ekonomi dengan mereka. Benar sabda Rasulullah, umat Islam hari ini bagaikan buih di lautan—banyak, tetapi lemah, karena kehilangan Khilafah sebagai pelindung dan penjaga umat.
Karena itu, untuk menolong saudara kita di Gaza dibutuhkan langkah terukur dan terencana. Targetnya bukan hanya sebatas memberi bantuan, melainkan kemenangan sejati. Dibutuhkan institusi politik Islam yang mampu melindungi, menjamin keamanan, menyediakan makanan, air bersih, dan kedamaian.
Umat butuh Khilafah sebagai pemersatu negara-negara muslim di dunia, yang mampu mengomando pasukan militernya ke Palestina. Hal ini bisa dimulai dengan kesadaran umat bahwa solusi Palestina hanya bisa terwujud dengan hadirnya Khilafah kedua yang menyatukan umat Islam sedunia serta menegakkan syariat Islam.
Termasuk mengamalkan hadis Rasulullah tentang pentingnya peduli terhadap sesama.
Wallahualam bissawab. [US]
Baca juga:

0 Comments: