Di Balik Parade Merah Putih: Kelas Menengah Ambruk, PHK Menggila
Oleh: Ummu Hanif Haidar
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Kelas menengah Indonesia kini menghadapi tekanan ekonomi serius dengan daya beli yang melemah, pendapatan stagnan, serta pengeluaran harian yang terus membengkak, terutama untuk kebutuhan pokok, cicilan, dan pendidikan. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah turun drastis sebesar 16,5% atau sekitar 9,48 juta orang, dari 57,33 juta pada 2019 menjadi 47,85 juta pada 2024. Meskipun berperan besar dalam menopang perekonomian nasional, kelompok ini justru minim perlindungan kebijakan sehingga rawan terperosok ke bawah tanpa jaring pengaman sosial yang memadai (tirto.id, 7/8/2025).
Laporan LPEM FEB UI menunjukkan banyak warga Indonesia mulai mengandalkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, listrik, air, dan transportasi. Hal ini tercermin dari penurunan simpanan individu sebesar 1,09% secara tahunan pada triwulan I-2025. Kondisi tersebut menandakan melemahnya daya beli masyarakat. Di sisi lain, pertumbuhan kredit konsumsi dan KPR ikut melambat, disertai peningkatan kehati-hatian perbankan terhadap konsumen berisiko tinggi. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), termasuk giro dan deposito berjangka, juga mengalami perlambatan pertumbuhan, memperkuat indikasi tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat secara luas (CNBC Indonesia, 8/8/2025).
Dalam periode Agustus 2024 hingga Februari 2025, hampir 1 juta pekerja terkena PHK, dengan sektor tekstil sebagai penyumbang terbesar. Data BPS mencatat 939.038 orang kehilangan pekerjaan, sementara penyerapan tenaga kerja hanya tumbuh 523.383 orang. Hal ini menyebabkan penurunan bersih tenaga kerja sebesar 415.655 orang. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) menyebut gelombang PHK bisa terus berlanjut akibat banjir impor murah dan lesunya konsumsi domestik. KSPN mendesak pemerintah mengetatkan pengawasan impor, menutup celah bagi importir nakal, serta meningkatkan belanja negara untuk produk dalam negeri yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tinggi guna menggerakkan ekonomi nasional (MetroTV, 8/8/2025).
Ekonomi rumah tangga Indonesia sedang tertekan berat, terutama di kelas menengah dan kelompok pekerja. Kelas menengah kini sulit naik kelas dan rentan jatuh miskin. Daya beli melemah, sementara perlindungan kebijakan tak memadai.
Banyak warga kini mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup sehari-hari, mencerminkan daya beli yang kian rapuh. Tekanan juga datang dari sisi ketenagakerjaan, dengan hampir 1 juta PHK terutama di sektor padat karya seperti tekstil, yang diperparah serbuan impor murah serta turunnya permintaan domestik.
Menjelang peringatan kemerdekaan RI ke-80, para tokoh dari enam agama besar di Indonesia membacakan Deklarasi Damai dalam Silaturahmi Nasional FKUB di Serpong. Deklarasi ini menegaskan pentingnya menjadikan perayaan kemerdekaan sebagai momentum memperkuat komitmen kebangsaan, menjaga persatuan, serta merawat kerukunan umat beragama. Para tokoh menyoroti kemajemukan sebagai rahmat yang harus diwariskan, pentingnya komunikasi terbuka untuk mencegah konflik, kepekaan terhadap isu kemanusiaan seperti kemiskinan dan kerusakan lingkungan, serta perlunya sinergi semua pihak—dari pemerintah hingga tokoh agama—dalam mengedukasi masyarakat, mendeteksi dini potensi konflik, dan menangani intoleransi secara adil dan menyeluruh (Kemenag.id, 6/8/2025).
Deklarasi Damai menjelang HUT RI ke-80 memang patut diapresiasi sebagai usaha menjaga kerukunan. Namun, bila narasi ini tidak dibarengi penyelesaian ketimpangan ekonomi dan pemenuhan hak dasar rakyat, maka ia berpotensi menjadi tameng retoris atas kondisi kemunduran diam-diam yang sedang menggerogoti bangsa. Indonesia merdeka bukan sekadar bebas konflik antaragama, tetapi juga bebas dari kemiskinan struktural, penindasan ekonomi, dan ketimpangan sosial. Tanpa itu, kemerdekaan hanya tinggal jargon, bukan kenyataan.
Kemunduran bangsa ini tak bisa dilawan hanya dengan seremonial kemerdekaan dan slogan optimistis. Ia butuh pemimpin yang jujur membaca kondisi, rakyat yang sadar dan peduli, serta sistem yang benar-benar membela rakyat, bukan sekadar mengutamakan ekonomi makro. Sistem kapitalis-sekular saat ini terbukti tidak mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Rakyat harus menyadari bahwa kita membutuhkan aturan Islam yang diterapkan dalam sebuah negara, yaitu Daulah Islam. Dalam Daulah Islam, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat merupakan kewajiban negara dan menjadi bagian dari tanggung jawab langsung khalifah (pemimpin). Sistem ini menempatkan rakyat sebagai prioritas utama serta menjamin kebutuhan dasar secara menyeluruh, merata, dan berkeadilan.
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir sekaligus ulama besar dalam pemikiran politik Islam, kepemilikan dalam Islam terbagi menjadi tiga jenis utama, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan masyarakat, dan kepemilikan negara. Masing-masing memiliki hukum dan pengaturan tersendiri. Hal ini dirinci dalam karya beliau An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam).
Sistem Daulah Islam menjamin keadilan distribusi kekayaan, menghindari konsentrasi harta pada segelintir orang, serta mencegah dominasi negara atas semua sumber daya. Sistem kepemilikan ini bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, menjaga hak milik individu, dan memastikan pengelolaan kekayaan umat tidak diserahkan kepada swasta yang berpotensi mengeksploitasi rakyat.
Penutup
Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik atau konflik antaragama, melainkan juga bebas dari kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi, dan penindasan sistemik. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran rakyat, pemimpin yang jujur, serta penerapan sistem Islam secara kafah agar keadilan dan kesejahteraan menjadi kenyataan, bukan sekadar janji tahunan di bulan Agustus. [An]
Baca juga:

0 Comments: