Headlines
Loading...
Bendera Bajak Laut dan Kritik Kemerdekaan

Bendera Bajak Laut dan Kritik Kemerdekaan

Oleh: Shafna A.Y
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com — Sejumlah masyarakat dan pengemudi truk melakukan aksi pengibaran bendera bajak laut berlogo tengkorak khas dengan topi jerami, seperti yang digunakan karakter utama dalam serial anime One Piece. Kelompok bajak laut Topi Jerami yang dipimpin oleh Luffy kerap menjadi simbol perlawanan terhadap pemerintah dunia dan ketidakadilan.

Dilansir dari Kompas.com (1 Agustus 2025), aksi ini dilakukan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus mendatang sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap ketidakadilan.

Menurut data media sosial tahun 2024, lebih dari 80 juta unggahan global menampilkan simbol Mugiwara, dengan tren tertinggi berasal dari Indonesia, Filipina, dan Brasil. One Piece, sebuah karya fiksi yang awalnya ditujukan untuk hiburan, perlahan menanamkan nilai-nilai besar tentang otoritas, pemberontakan, dan bentuk kemerdekaan alternatif yang tidak tunduk pada tatanan hukum mana pun. Manga yang terbit pada tahun 1990-an ini menceritakan bagaimana pemerintahan dunia—entitas pemerintahan dalam cerita tersebut—melakukan banyak kejahatan yang ditutupi.

Kondisi di Indonesia saat ini ibarat representasi nyata One Piece, ketika para pejabat menikmati kekuasaan sementara rakyat tertindas. Kemerdekaan yang setiap tahun dirayakan tidak benar-benar dirasakan masyarakat. Kebijakan pemerintah kerap mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator BEM SI, Hariyanto, pada akhir Juli 2025 di Jakarta, publik merasakan bahwa berbagai kebijakan tidak berpihak kepada rakyat, melainkan kepada oligarki.

Gerakan pengibaran bendera bajak laut yang oleh sebagian pihak dikategorikan sebagai makar sejatinya bukanlah makar, melainkan simbol ketidakrelaan masyarakat terhadap negeri tercinta yang terus didera penderitaan akibat ulah oligarki. Aksi ini adalah bentuk kritik moral, bukan ancaman pengkhianatan.

Akar Masalah

Ichsanuddin Noorsy, pengamat kebijakan publik, mengemukakan bahwa desain politik dan ekonomi di Indonesia secara sistemik merupakan konstruksi Barat. Para pemimpin hanya mengisi bagian dari konstruksi yang sudah ada. Jika dilihat lebih jeli, secara ideologis semua rezim, sejak awal Indonesia merdeka hingga 79 tahun setelahnya, mengemban ideologi kapitalisme.

Sejak dibacakannya naskah Proklamasi sebagai tanda kedaulatan negara Indonesia, Jepang yang saat itu menduduki Indonesia terpaksa hengkang ke negaranya setelah kalah dari tentara Sekutu pimpinan Amerika Serikat. Belanda yang hendak kembali menjajah pun harus menghadapi para pejuang dengan semangat jihad fi sabilillah, sehingga mereka gagal. Sejak itu, tidak ada lagi tentara penjajah di negeri ini.

Namun warisan penjajah tidak sepenuhnya dibuang, melainkan dilestarikan dan dijadikan landasan dalam mengatur negeri. Sejarah mencatat, penyusunan konstitusi negara tidak lepas dari campur tangan penjajah.

Pada masa pemerintahan Soekarno, upaya tokoh-tokoh Islam untuk menjadikan Islam sebagai konstitusi negara digagalkan. Konstituante yang merancang undang-undang dasar dibubarkan, dan UUD yang berlaku mengikuti konstruksi sebelumnya yang bercorak penjajah. Inilah yang membuat kondisi tidak berubah, meskipun pemimpin silih berganti.

Bagi Barat, sistem yang diberlakukan di Indonesia sangat menguntungkan dan menjadi habitat yang baik bagi penjajahan mereka, sehingga harus dipertahankan. Perubahan kecil masih ditoleransi selama tidak merobohkan sistem kapitalisme itu sendiri.

Bagi Barat, menyejahterakan rakyat di wilayah yang mereka eksploitasi tidak pernah menjadi tujuan. Jika pun membantu, itu sekadar untuk mencegah rakyat melawan. Imperialisme gaya baru ini mempertahankan cengkeraman dengan berbagai cara, termasuk menempatkan orang-orang yang setia pada mereka di jabatan strategis negara dan organisasi berpengaruh.

Praktik ini terjadi hampir di semua negara yang “dimerdekakan” pasca-Perang Dunia II. Secara militer penjajah pergi, tetapi secara politik dan ekonomi mereka tetap bertahan. Kondisi ini disebut kemerdekaan semu. Keterjajahan ini tidak lepas dari dua faktor: pemimpin yang berada di bawah pengaruh atau kendali Barat dan sistem yang mereka desain. Selama keduanya bertahan, keterjajahan pun tetap ada.

Saatnya Umat Sadar

Sebelum Islam datang, manusia dipaksa menghamba kepada manusia lain—baik karena terpaksa maupun karena kebodohan. Masa itu disebut masa jahiliah, ketika manusia menyembah berhala atau sesamanya.

Islam datang membawa misi kemerdekaan umat manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah.

Di era modern, praktik penghambaan kepada manusia muncul kembali. Banyak yang mengira hal itu tidak ada karena manusia sudah beragama dan perbudakan formal sudah tiada. Namun faktanya, praktik ini tetap terjadi, antara lain dengan menyerahkan kewenangan membuat hukum dan undang-undang kepada manusia, bukan kepada Sang Pencipta. Lebih buruk lagi, ketika hukum tersebut diimpor dari pihak asing.

Dengan jalur pembuatan hukum itu, segelintir orang dapat membatasi dan mengatur kehendak manusia lainnya. Masyarakat dibatasi dalam menyampaikan aspirasi, dibebani pajak, dan pada saat yang sama kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat diserahkan kepada pihak asing atau kapitalis, dilegalkan oleh konstitusi.

Allah menegaskan dalam firman-Nya (TQS at-Taubah: 31) bahwa Bani Israil menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Dalam riwayat Adi bin Hatim radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa penghambaan itu terjadi ketika mereka menghalalkan atau mengharamkan sesuatu yang berlawanan dengan ketetapan Allah, lalu diikuti oleh umatnya.

Islam membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan, penjajahan, dan eksploitasi dengan mengembalikan hak membuat hukum hanya kepada Allah, sehingga semua manusia setara dalam kedudukan dan tunduk hanya kepada syariat-Nya.

Firman Allah dalam TQS Ibrahim: 1 menyebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya dengan izin-Nya, menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.

Sejarah Islam membuktikan, kemerdekaan hakiki terwujud ketika syariat diterapkan secara menyeluruh. Bangsa Arab yang dahulu jahiliah berubah menjadi pemimpin dunia, menyebarkan keadilan dan kemakmuran di bawah kepemimpinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Islam bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga sistem hidup yang menjadikan umat Islam sebagai khairu ummah (umat terbaik) yang menegakkan keadilan dan menolak segala bentuk penindasan.

Kritik terhadap penguasa adalah bagian dari ajaran Islam, yakni amar ma’ruf nahi mungkar. Pemerintah seharusnya tidak merasa terancam, karena kritik adalah tanda kepedulian rakyat. Alih-alih fokus pada simbol-simbol seperti bendera One Piece, sebaiknya pemerintah menangani masalah inti negara seperti korupsi dan kerusakan moral dengan serius.

Wallahu a’lam bishshawab. [ry]


Baca juga:

0 Comments: