Bendera One Piece: Representasi Ketidakadilan di Negeri Kapitalis
Oleh: Ernita S
(Kontributor SSCQMedia.Com)
SSCQMedia.Com — Akhir-akhir ini ramai di media sosial pemberitaan mengenai pemasangan bendera anime One Piece yang menjadi perbincangan banyak kalangan. Hal ini terjadi menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025. Namun, masyarakat justru dihebohkan oleh kontroversi pengibaran bendera tersebut di berbagai wilayah, salah satunya di Jember.
Vani, warga Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, menjadi salah satu orang yang memasang bendera One Piece di depan rumahnya. Ia memasangnya di bawah bendera Merah Putih. Bendera ini dibeli secara daring dengan harga Rp14 ribu.
“Ukuran 60 kali 40 meter. Dapat satu cuma beli online,” ujarnya, Selasa, 12/8/2025. Vani mengaku mengibarkan bendera One Piece karena senang dengan alur ceritanya (Jatimnow.com, 17/8/2025).
Bendera One Piece yang bergambar tengkorak disebut dengan Jolly Roger sebagai lambang utama setiap kelompok bajak laut. Gambar tengkorak dan tulang bersilang tersebut bermakna simbol kebebasan, impian besar, serta kesetiaan antarkru. Akan tetapi, pemerintah merespons hal ini secara negatif karena dianggap melanggar hukum dan berpotensi sebagai bentuk makar.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut maraknya pengibaran bendera bertengkorak tersebut menjelang perayaan kemerdekaan berpotensi menjadi “upaya memecah belah bangsa” berdasarkan masukan dari sejumlah lembaga intelijen.
“Kita juga mendeteksi dan juga dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan intelijen, memang ada upaya-upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Kamis malam, 31 Juli 2025 (Metrotvnews.com, 13/8/2025).
Pengibaran bendera One Piece menimbulkan kekhawatiran terhadap potensi gerakan kontra pemerintah. Berbagai pihak menilai tindakan tersebut berpotensi menjadi simbol pembangkangan kepada negara. Apalagi fenomena ini terjadi menjelang HUT RI ke-80 sehingga dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
Padahal, di usia kemerdekaan Indonesia yang telah mencapai 80 tahun, rakyat semestinya berharap terpenuhinya kemaslahatan hidup berupa keadilan, kesejahteraan, dan keamanan. Namun, faktanya justru sebaliknya: ketidakadilan terjadi, kesejahteraan rakyat diabaikan penguasa, bahkan cenderung ditindas.
Seruan pemasangan bendera bajak laut One Piece saat ini dapat dipahami sebagai ekspresi kekecewaan rakyat terhadap ketidakadilan. Itu merupakan ungkapan kekecewaan mendalam terhadap kondisi bangsa yang semakin menjauh dari semangat kemerdekaan. Pengibaran bendera ini bukanlah makar, melainkan simbol bahwa rakyat mencintai negeri ini dan tidak rela tanah airnya terus menderita akibat perbuatan oligarki.
Cerita One Piece pun dianggap mencerminkan kondisi Indonesia, di mana segelintir pejabat menikmati kekuasaan sementara rakyat tertindas. Walaupun secara formal sudah merdeka, rakyat belum merasakan kemerdekaan hakiki. Hal ini terjadi karena kebijakan selalu condong kepada elite. Inilah yang kemudian membuat banyak masyarakat merasa relevan dengan kisah One Piece.
Fenomena ini juga menunjukkan kreativitas generasi muda dalam mengekspresikan kritik terhadap realitas sosial politik yang dianggap tidak adil. Generasi muda bukan tidak cinta Indonesia, justru sebaliknya: mereka mencintai negeri ini, tetapi tidak rela dipermainkan oleh elite penguasa dan pengusaha yang bersekongkol dalam sistem yang korup. Bendera bajak laut One Piece menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, bukan simbol pengkhianatan.
Akar masalah penderitaan rakyat sejatinya terletak pada penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah menimbulkan ketimpangan sosial yang tajam antara si kaya dan si miskin. Kebijakan dibuat demi kepentingan elite, bukan untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya, rakyat terus-menerus mengalami kezaliman struktural—mirip dengan dunia dalam kisah One Piece yang penuh penindasan dan korupsi.
Akibat sistem kapitalisme, kesenjangan sosial semakin melebar. Kebijakan yang diambil sering berpihak kepada korporasi, bukan kepentingan publik. Rakyat dipaksa menanggung beban hidup berat: harga kebutuhan pokok melambung, lapangan kerja minim, sementara akses pendidikan dan kesehatan kian sulit dijangkau. Di sisi lain, pemilik modal justru menikmati kemudahan izin, insentif fiskal, dan perlindungan hukum.
Dari sini umat harus disadarkan bahwa akar persoalan bangsa adalah penerapan sistem buatan manusia yang tidak bersumber dari Allah Swt. Sistem ini memisahkan agama dari ruang publik, menjadikan akal sebagai sumber hukum, serta menyerahkan ekonomi dan kekuasaan kepada kepentingan elite. Akibatnya lahirlah kemiskinan struktural dan ketidakadilan yang terus membelenggu negeri.
Solusi hakiki adalah mengganti sistem rusak tersebut dengan sistem yang berasal dari Allah Swt. Hanya dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, umat akan terbebas dari kemudaratan kapitalisme. Islam diturunkan bukan hanya sebagai ajaran spiritual, tetapi juga sebagai sistem hidup yang menolak segala bentuk penindasan dan mewujudkan keadilan.
Kesadaran rakyat terhadap kezaliman dan ketimpangan harus diarahkan pada perjuangan hakiki, yaitu mengubah sistem kapitalisme menjadi sistem Islam. Hal ini bukan sekadar simbolis, melainkan perlawanan yang terarah melalui dakwah perubahan sistem. Penerapan sistem Islam secara menyeluruh akan membebaskan umat dari penderitaan sekaligus mengantarkan pada kemuliaan sebagai pemimpin peradaban dunia.
Wallahualam bissawab. [An]
Baca juga:

0 Comments: