Mungkin inilah keadaan sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(TQS. Al-Baqarah: 216)
Bagiku, ayat tersebut sungguh nyata. Segala sesuatu yang tidak kusukai sebelumnya bisa jadi justru itulah yang terbaik untukku, seperti yang kurasakan ketika memutuskan melanjutkan hidup di kota ini.
Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, kepindahanku ke sini membuatku mulai belajar tentang Islam lebih dalam melalui sebuah syarikah yang menurutku luar biasa. Di dalamnya terdapat orang-orang cerdas dengan pemikiran dan gaya berbicara yang patut diacungi jempol. Wawasan mereka begitu luas, tidak hanya seputar isu-isu kekinian, tetapi juga sejarah yang jauh ke belakang. Mereka menyampaikan dakwah tidak hanya dengan teori, tetapi juga dengan bukti yang valid. Semua hal yang mereka sampaikan tidak ditujukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata, melainkan untuk kepentingan umat.
Yang membuatku tertegun adalah keseragaman dalam penyampaian. Apa yang disampaikan oleh pimpinan di tingkat pusat hingga ke daerah-daerah tetap sama, meski mereka tinggal di wilayah yang berbeda-beda.
Perlahan-lahan aku mulai memahami tata cara belajar dalam syarikah ini, yang konsisten menerapkan metode dakwah Rasulullah dan mengajak umat untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam di tengah masyarakat.
Jujur, ada kebingungan yang kurasakan. Beberapa aturan terlihat saklek, keras, dan tidak bisa ditawar. Namun, ketika semua itu dikaitkan dengan hukum Islam, Al-Qur’an, dan hadis, aku pun mulai memahami bahwa tidak ada yang keliru. Semuanya benar adanya.
Bukankah menjadi muslim harus utuh dan menyeluruh, bukan setengah-setengah? Suka atau tidak, setiap aturan dalam Islam wajib ditaati karena itu adalah perintah langsung dari Allah dan telah dicontohkan oleh suri teladan kita, Rasulullah ï·º.
Akhirnya, setelah mengamati, memahami, dan menjalaninya, aku pun mulai beralih ke kajian kitab. Di sana, aku mulai mendapatkan amanah, seperti membagikan buletin atau majalah. Awalnya aku merasa takut dan tidak percaya diri. Sebagai pendatang baru di lingkungan perumahan ini, hal-hal seperti itu terasa asing bagiku.
Kusampaikan semua itu kepada guruku, dan alhamdulillah beliau sangat memahami keadaanku.
Seiring berjalannya waktu, kitab yang dikaji berganti, begitu pula amanah yang mulai berdatangan. Salah satunya adalah mengisi kajian rutin mingguan secara daring. Ya Allah, aku sungguh tidak siap.
Awalnya aku gemetar ketika berforum. Saat amanah itu datang mengetuk pintu hatiku, aku merasa kecil, sangat kecil. Seolah dunia menimpakan beban berat di pundakku yang rapuh. Aku berkata dalam diam,
"Ya Allah, mengapa aku? Aku tak pantas, aku tak mampu."
Namun, di sanubari terdalam, ada bisikan lembut yang menyejukkan,
"Bukankah segala sesuatu yang datang dari-Nya adalah baik? Bukankah Allah takkan membebani hamba-Nya melebihi kesanggupannya?"
Aku pun terdiam. Merenung. Mencoba memahami bahwa setiap amanah, sebesar atau sekecil apa pun, bukanlah kebetulan. Ia adalah pilihan Allah. Dan aku, yang merasa tak mampu, ternyata dipilih bukan karena hebat, tetapi karena Allah tahu—di balik keraguan ini—ada potensi yang belum kutemukan.
Hari demi hari berlalu. Amanah itu tidak mudah. Ia datang membawa tanggung jawab, tantangan, bahkan luka yang tak terlihat oleh orang lain.
Kadang aku harus berbicara di forum yang sunyi, tanpa respons. Kadang aku merasa berbicara sendiri meski telah mempersiapkan materi dengan sepenuh hati. Bahkan tak jarang aku menghadapi forum yang pesertanya tidak hadir sama sekali.
Jujur, itu membuatku sedih dan kecewa. Kadang lelah dan jenuh.
Namun justru di situlah aku belajar.
Bahwa mencintai karena Allah bukan sekadar kata-kata indah, melainkan perjuangan yang melelahkan.
Bahwa menerima amanah lillah bukan karena sejak awal kita mampu, tetapi karena Allah yang membimbing kita untuk mampu.
Setiap kali ingin menyerah, aku mengingat bahwa jalan menuju surga tidak selalu dipenuhi bunga. Kadang penuh batu tajam. Kadang harus merangkak dalam gelap. Tapi selama tujuannya adalah rida Allah, maka sakitnya menjadi cahaya, letihnya menjadi penghapus dosa, dan sabarnya menjadi anak tangga menuju Jannah.
Aku bersyukur karena di tengah rasa lelah itu, ada guru dan sahabat-sahabat salihah yang selalu mendukungku.
Mereka hadir dan menguatkanku, walau aku masih jauh dari kata sempurna. Mereka tetap memberikan apresiasi terbaik.
Semangat itu semakin terpacu ketika aku bergabung dalam Komunitas Sahabat Surga Cinta Qur’an (SSCQ), sebuah komunitas yang awalnya kuanggap biasa saja, tetapi ternyata luar biasa.
Sejak bergabung, semangat belajarku semakin meningkat. Aku pun mulai berani keluar dari zona nyaman. Di komunitas ini, aku bisa belajar apa pun. Sang Muassis, Bunda Lilik Yani, membuka banyak ruang belajar secara cuma-cuma. Potensi kami pun mulai terasah dan muncul ke permukaan.
Kitab yang dikaji semakin beragam. Amanah yang datang pun semakin banyak. Tapi, anehnya, aku tidak pernah menolaknya lagi.
Masyaallah, bagiku ini adalah sebuah perjuangan yang luar biasa.
Aku teringat pesan guruku untuk tidak menolak amanah karena di dalamnya ada peluang pahala. Jangan takut dan jangan menyerah di jalan dakwah ini. Ini adalah jalan kebaikan dan insyaallah akan selalu dimudahkan oleh Allah.
Semoga Allah senantiasa memuliakan guruku di mana pun beliau berada. Semoga aku pun bisa memperoleh keberkahan ilmu melalui menjalankan pesan-pesan beliau.
Kini, aku tak lagi bertanya,
"Mengapa aku?"
Tapi aku mulai bertanya,
"Apa yang bisa kulakukan untuk mengisi hariku dengan kebaikan agar waktuku tidak terbuang percuma?"
"Apa yang bisa kulakukan untuk umat?"
"Dakwah seperti apa yang akan kupilih untuk menyampaikan indahnya Islam di tengah masyarakat?"
Aku ingin mengisi setiap detik hidupku dengan amal yang Allah sukai.
Karena aku tahu, hidup ini singkat. Amanah yang datang adalah salah satu jalan menuju keabadian di sisi-Nya.
Aku siap, Ya Allah. Bukan karena aku kuat, tetapi karena aku yakin Engkau akan menguatkanku.
Aku siap, bukan karena aku tahu semua jawaban, tetapi karena aku percaya Engkaulah sebaik-baik penuntun.
Kini, amanah ini kujalani bukan lagi sebagai beban, melainkan sebagai bukti cinta.
Cinta dari hamba yang lemah kepada Rabb Yang Maha Pengasih.
Jika kelak aku sampai di surga-Mu, Ya Allah…
Semoga setiap letih ini menjadi saksi. Bahwa aku pernah menerima amanah lillah,
dengan air mata, dengan doa-doa panjang, dengan hati yang terus belajar ikhlas.
Karena aku percaya:
tidak ada yang sia-sia dari perjuangan yang diniatkan hanya untuk-Mu.
"Amanah ini bukan sekadar tugas, tetapi jalan pulang … menuju surga."
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Sidoarjo, 22 Juli 2025 [My]
Baca juga:

0 Comments: