Headlines
Loading...
Abolisi: Tragedi Tongkat yang Diberikan Setelah Kaki Dipatahkan

Abolisi: Tragedi Tongkat yang Diberikan Setelah Kaki Dipatahkan

Oleh: Alfisyah Ummu Arifah, S.Pd.
(Pemerhati Kebijakan Publik)

SSCQMedia.Com—Entah benar atau tidak motif “persatuan” di balik pemberian abolisi dan amnesti kepada dua pejabat yang telah divonis melakukan korupsi. Langkah ini rawan sarat lobi-lobi politik dan tawar-menawar kekuasaan. Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (Kompas, 1/8/2025).

Apa pertimbangan Presiden Prabowo dalam hal ini? Wamensesneg Juri Ardiantoro mengatakan, Tom dan Hasto memenuhi kriteria untuk mendapatkan abolisi dan amnesti demi persatuan. Pertimbangan ini dikaitkan dengan prinsip perlakuan yang sama bagi semua warga negara dan momentum peringatan HUT ke-80 RI pada 2025.

Memang benar, kita menyaksikan fakta bahwa Tom Lembong terbukti melakukan kebijakan berdasarkan arahan mantan Presiden Jokowi. Seharusnya tidak ada delik pidana atas keputusan impor gula yang diambil. Jika benar itu instruksi presiden kala itu, maka yang ditindak bukan hanya Tom, tetapi juga atasan yang memberi arahan.

Akibat Sistem Demokrasi Kapitalis

Peristiwa ini menunjukkan bahwa hukum buatan manusia dapat ditarik ulur meskipun sudah ketuk palu, atas nama HAM (abolisi dan amnesti). Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme yang diwujudkan dalam pemerintahan demokrasi.

Seorang kepala negara memiliki kewenangan membebaskan terdakwa yang sudah divonis final. Artinya, yang salah bukan sekadar oknumnya, melainkan sistem hukum yang berlaku—terkesan bisa diubah dan dibatalkan layaknya karet yang dapat molor.

Sebenarnya, tidak masalah jika seseorang yang sudah divonis memang terbukti tidak bersalah setelah dilakukan peninjauan kembali. Namun, bagi yang terbukti bersalah, pembebasan justru menimbulkan kesan inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum. Terlihat tidak adil ketika pelaku pelanggaran diperlakukan setara dengan orang yang tidak bersalah.

Bagi yang tidak bersalah, langkah ini ibarat “patahkan dulu kakinya lalu beri tongkat” — pembebasan bisa tampak seperti aksi heroik, atau bahkan pencucian tangan setelah melakukan pelanggaran. Sementara bagi yang bersalah, ini seperti “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui” — pelanggaran menjadi ternormalisasi dan pelaku tidak merasa jera. Hal ini dapat mendorong pengulangan kejahatan di masa mendatang.

Demikianlah dampak dari penerapan demokrasi kapitalis yang sarat tawar-menawar politik demi kepentingan penguasa dan pihak-pihak tertentu.

Sistem Islam: Adil dan Objektif

Berbeda dengan sistem hukum demokrasi, sistem hukum Islam bersumber dari Sang Pencipta alam semesta. Sistem ini tegas dan tidak molor seperti demokrasi. Pelaku pelanggaran dihukum sesuai ketentuan syariat tanpa lobi-lobi politik. Keimanan dan ketakwaan individu para qadhi (hakim) menjadi syarat mutlak, dan agama menjadi pijakan dalam setiap putusan.

Hukum Islam berfungsi sebagai penebus dan pencegah, sehingga keputusan terhadap pelaku kriminal membuatnya kapok dan jera. Jika suatu keputusan terbukti keliru menurut syariat, maka akan dilakukan peninjauan kembali hingga jelas kebenarannya.

Hal ini pernah terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra., ketika beliau menarik kembali keputusan qadhi yang memvonis rajam seorang wanita hamil enam bulan karena dituduh berzina. Ali bin Abi Thalib ra. datang membawa hadis Nabi saw. bahwa usia kehamilan minimal adalah enam bulan. Ternyata wanita itu tidak berzina, sehingga Umar ra. membatalkan putusan tersebut. Peristiwa ini tercatat dalam Kitab Ajhizatu Ad-Daulah Khilafah bagian Keputusan Qadhi yang Bisa Ditarik Kembali.

Dengan demikian, penarikan keputusan hanya berlaku bagi yang terbukti tidak bersalah setelah diteliti. Namun, dalam Islam tidak ada amnesti bagi pelaku yang jelas-jelas bersalah. Hukuman harus dijalankan hingga tuntas, sehingga memberi efek jera dan mencegah orang lain melakukan pelanggaran.

Penutup

Sistem hukum Islam tegas, objektif, dan profesional sesuai syariat. Ia mengikat seluruh umat manusia karena bersumber dari Tuhan semesta alam. Penerapan hukum-Nya akan membawa keberkahan dan keadilan, sebab hanya Sang Pencipta yang paling memahami makhluk-Nya beserta segala detail pikiran dan perilakunya.

Hanya dengan hukum Allah, hidup akan aman dan tenteram, menghadirkan ketenangan untuk seluruh alam.

Wallahu a’lam bishshawab. []

Baca juga:

0 Comments: