Headlines
Loading...
609 Ribu Sebulan dan Surat PHK,  Rakyat Disuruh Bertahan Pakai Apa?

609 Ribu Sebulan dan Surat PHK, Rakyat Disuruh Bertahan Pakai Apa?

Oleh. Rini Sulistiawati
(Pemerhati Sosial)

SSCQMedia.Com—Angka terus berbicara, tapi hati rakyat tak pernah dipedulikan. Di negeri yang tanahnya subur dan lautnya luas, rakyat justru dikurung oleh ketidakpastian. Di pagi yang muram, ada kepala keluarga yang menatap kosong saat uang recehan yang merupakan gaji terakhir sudah habis, sementara tangan kecil anaknya meminta uang saku. "Maaf, Nak ... Ayah sudah di-PHK."

Sementara di meja dapur, hanya ada sisa beras dan minyak yang tinggal tetes. Bagaimana bisa hidup layak, jika batas miskin ditetapkan Rp609.160 per bulan? Lantas mereka bertanya, “Apa gunanya negeri merdeka kalau perut rakyatnya masih merintih kelaparan?”

Fakta tak bisa dibantah. Dilansir dari Kompas.com, 28/7/2025, bahwa jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) selama Januari hingga Juni 2025 mencapai 42.385 orang, melonjak 32,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah sekitar 32.064 orang.

Kompas mencatat bahwa pada Maret 2025, batas garis kemiskinan nasional naik menjadi Rp609.160 per orang setiap bulannya, dari sebelumnya Rp595.242 pada September 2024. Kenaikan 2,34% ini dihitung dengan pendekatan kebutuhan dasar, angka yang seolah terdengar ilmiah, namun tetap tak masuk akal bila dibandingkan dengan harga kebutuhan hidup sebenarnya (Kompas.com, 25/7/2025).

Di tengah harga sembako yang terus merangkak naik, angka Rp609 ribu sebulan hanyalah ilusi kesejahteraan.
Bagaimana mungkin seseorang dinilai ‘tidak miskin’ jika penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup, namun belum mampu memenuhi standar kehidupan yang layak?

Ironisnya, dua fakta ini seperti palu yang menghantam kepala rakyat. Ketika PHK meningkat, otomatis daya beli menurun. Namun negara seolah hanya berdiri sebagai penonton statistik. Angka-angka itu tak mampu menggambarkan getirnya perasaan orang tua yang kehilangan pekerjaan, dan hanya bisa menatap warung tanpa bisa membeli sebutir telur pun untuk anaknya. Jangankan sebutir telur bahkan sejumput garam pun nyaris tak terbeli. Rakyat dipaksa bertahan di tengah badai, tanpa perahu, tanpa pelampung.

Sistem kapitalisme memang hanya peduli pada angka dan pertumbuhan ekonomi makro, bukan pada kesejahteraan sejati. Dalam sistem ini, manusia dianggap sebagai angka produktivitas. Ketika dianggap tak lagi menguntungkan, mereka dikorbankan demi efisiensi. Padahal, kekayaan negara terus mengucur ke tangan segelintir pemilik modal besar. Negara menjadi wasit yang berat sebelah. Negara tegas pada rakyat kecil, tapi lembut pada korporasi besar.

Islam memiliki pandangan yang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, kesejahteraan bukan sekadar hitungan statistik, melainkan hak setiap individu yang wajib dipenuhi. Negara dalam sistem Islam tidak boleh membiarkan satu pun rakyatnya kelaparan, apalagi sampai kehilangan pekerjaan tanpa jaminan hidup. Pemimpin bukan sekadar pengatur, tetapi pelayan umat, yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah jika satu saja rakyatnya menderita.

Islam mewajibkan negara menjamin lapangan kerja, menjamin kebutuhan pokok tiap individu antara lain; makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Sumber daya alam yang melimpah bukan dijual ke asing, tetapi dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat. Dalam Khilafah, pemutusan hubungan kerja bukanlah jalan keluar seperti solusi yang diambil kaum  kapitalistik, tetapi Khilafah menganggap pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah musibah yang segera dicarikan solusi berbasis kemanusiaan dan syariah.

Nabi Muhammad saw. bersabda dalam riwayat Muslim: _"Imam (pemimpin) adalah pemelihara rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya."_  Ini adalah sebuah tanggung jawab kepemimpinan yang bukan hanya administratif, tapi spiritual.

Sementara dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman: _"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka) yang dalam kekuasaanmu, yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (darinya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (QS. An-Nisa: 5). Ini menegaskan bahwa harta dan sumber daya harus dikelola oleh pihak yang amanah untuk menjamin kelayakan hidup rakyat.

Imam Abu Hanifah pernah berkata: _"Keadilan itu fondasi pemerintahan. Jika tidak ada keadilan, maka pemerintahan akan runtuh walaupun lahiriahnya tampak kuat."_ Kita hidup di era ketimpangan yang dibiarkan merajalela. Maka, perubahan bukan lagi pilihan, tapi keharusan.

Solusinya adalah Islam Kafah

Islam Kafah melalui sistem Khilafah menawarkan solusi fundamental yang berpijak pada asas kemanusiaan dan ketakwaan. Dalam Khilafah, negara adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat baik makan, sandang, papan, kesehatan, maupun pendidikan. Jaminan hidup ini tidak tergantung pada status pekerjaan atau kondisi ekonomi individu, karena negara melihat rakyat sebagai amanah, bukan angka statistik. Maka tak akan ada keluarga yang terlantar hanya karena kepala keluarganya kehilangan pekerjaan.

Dalam pandangan Islam, tenaga kerja bukanlah komoditas yang bisa dibuang demi efisiensi. Tenaga manusia adalah aset mulia yang harus dijaga dan diberdayakan. Oleh karena itu, PHK massal yang kini terjadi tak akan ditemukan dalam sistem Islam, sebab sektor-sektor strategis tidak akan diserahkan ke swasta atau asing, melainkan dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Negara bertugas menciptakan lapangan kerja, bukan menutupnya demi akumulasi laba segelintir elite.

Lebih dari itu, sumber daya alam yang melimpah seperti tambang, minyak, dan gas —yang kini banyak dikuasai korporasi asing—akan dikelola langsung oleh negara dalam bingkai syariah. Hasil pengelolaan itu dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik gratis dan jaminan sosial menyeluruh. Rakyat tak perlu lagi dihitung sebagai beban APBN karena justru mereka adalah pemilik sah kekayaan negeri.

Yang tak kalah penting, sistem Islam membentuk pemimpin yang bertakwa dan sadar amanah. Seorang khalifah dibina bukan untuk menyenangkan investor, tapi untuk mencintai dan melindungi umat. Setiap kebijakan lahir dari rasa takut kepada Allah dan cinta kepada rakyat bukan tekanan politik atau kepentingan ekonomi global. Maka dalam sistem ini, rakyat tidak hanya dilayani, tapi dimuliakan sebagai hamba Allah yang memiliki hak hidup yang layak dan terhormat.

Rakyat tidak bisa lagi menunggu mukjizat dari sistem yang sudah berkali-kali gagal. Jika Rp609 ribu sebulan adalah syarat untuk disebut miskin, dan PHK melonjak lebih dari 30%, maka kita tidak sedang hidup, kita sedang bertahan. Sudah waktunya yang dipertanyakan adalah sistemnya, bukan justru menyalahkan rakyatnya.

Mari berjuang untuk menghadirkan sistem Islam Kafah, bukan sekadar untuk menurunkan harga dan angka PHK, tapi untuk mengembalikan kemuliaan manusia sebagai hamba Allah dan rakyat yang dijaga. "609 Ribu Sebulan dan Surat PHK, Rakyat Disuruh Bertahan Pakai Apa?" Ini lebih dari sekadar rangkaian kata. Ini adalah jeritan nurani yang mendambakan perubahan hakiki. [An]

Baca juga:

0 Comments: