Headlines
Loading...

Oleh. Eka Suryati 
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Mama, aku memanggilnya dengan kasih. Nama itu bukan sekadar kata, tapi suara pertama yang lekat dalam ingatanku sejak kecil. Nama yang diperkenalkan kepadaku sejak awal mengenal dunia, dan terus kudengar di setiap sudut rumah, dalam bisikan lembut menjelang tidur, dalam teguran sayang yang penuh makna, dan dalam doa-doa panjang yang ia lafazkan diam-diam. Suara itu tumbuh akrab di telingaku, bahkan saat kini ia telah tiada. Setiap menyebutnya, hatiku seperti ditarik pulang ke pelukan, ke dekapan, ke cinta yang tak pernah menuntut imbalan. Mama, sapaan itu kini akrab dan biasa kusebut dalam doa-doa kala hati ini merindu kasih Mama. Tapi tak sekadar kala rindu, dalam setiap sujud dan ibadahku, nama itu selalu kusebut.

Aku tahu, surga itu ada di telapak kaki ibu. Dulu aku hanya menghafalnya sebagai bagian dari pelajaran agama. Tapi setelah Mama pergi, barulah aku benar-benar merasakannya. Betapa jalan ke surga itu kini terasa jauh, sebab telapak kaki itu tak lagi bisa kusentuh. Aku hanya bisa menengadah, berharap doa-doaku menembus langit, sampai kepada beliau yang kini berbaring dalam keheningan bumi.

Mama bukan hanya orang tua. Ia adalah rumah, tempat aku kembali meski dunia sedang kacau. Ia adalah pelita dalam gelap, yang diam-diam tetap menyala agar aku tak tersesat terlalu jauh. Dalam diamnya, ia selalu hadir. Bahkan kini, dalam sepi dan kehilangan, aku masih merasa dijaga oleh cintanya. Cinta Mama, entah mengapa, tak pernah benar-benar pergi. Ia hadir dalam kenangan. Ia hadir saat rindu mendera kalbu. Ia hadir dalam doa-doa yang kulangitkan untuk Mama.

Aku masih ingat, setiap kali aku jatuh, Mama tak pernah menyalahkanku terlebih dahulu. Ia hanya menatap, memeluk, lalu bertanya, “Sakit di mana?” Lalu setelah aku merasa lebih tenang, barulah ia mengajarkanku untuk lebih hati-hati. Sungguh, kasih seorang ibu itu lebih dahulu menyembuhkan sebelum menegur.

Kini, setelah kepergiannya, aku lebih giat menyebut namanya dalam sujudku. Setiap selesai salat, aku memohon pada Allah agar mengampuni dosanya, melapangkan kuburnya, dan kelak memberinya sebuah istana, istana yang indah di surga. Aku tak akan pernah berhenti berdoa. Karena kutahu, ini adalah salah satu jalanku menuju surga. Terus menyebut namanya, terus mendoakannya, terus melanjutkan kebaikan yang ia wariskan.

Kasih Mama kepadaku sebagai anaknya, adalah kisah yang manis, kasihnya abadi. Mama selalu menyayangiku tanpa harap kembali. Mama tak pernah menuntut balas jasa, bahkan ketika aku sudah dewasa dan bisa bekerja sendiri, tak pernah ia meminta dengan lisannya agar aku ikut membantu meringankan beban keluarga. Padahal andai ia meminta, itu adalah hal yang sangat wajar. Aku pun tak akan merasa keberatan. Tapi karena Mama tak meminta, aku hanya memberi sekadar yang bisa aku berikan, sebagai hadiah agar hatinya ceria.

Mama memang tak pernah meminta, karena ia hanya ingin anak-anaknya bahagia. Mendengar cerita indah anak-anaknya, sudah ikut membuat Mama bahagia. Itu juga yang membuatku selalu menuturkan kisah suka dan tak ingin membagi duka kepada Mama dan Papa. Kisah dewasaku hanya ada suka dan tak ada duka, karena ingin selalu membuat Mama tak terbebani pikirannya. Cukup saat kecil, saat kanak-kanak, remajaku yang merepotkannya karena masih dalam pengawasannya. Membagi kisah indah berumah tangga, merupakan caraku berbakti padanya. Dan memang tak ada juga hal yang buruk menimpa kehidupan rumah tanggaku. Mungkin itu semua berkat doa-doa yang Mama langitkan untukku dan semua anaknya.

Kini, setiap kali aku pulang ke rumah masa kecil, bayangan Mama selalu menyambutku di ambang pintu. Seperti ada jejak kehadirannya yang belum benar-benar pergi. Aroma masakannya seolah masih menggantung di udara dapur, tawa lembutnya masih menggema di ruang keluarga. Kadang aku diam-diam duduk di pojok ruang tamu, membayangkan Mama datang membawa teh hangat seperti dulu. Padahal aku tahu, cangkir-cangkir itu kini kosong, dan ruang itu tak lagi sama.

Namun yang paling sulit adalah saat hari-hari istimewa datang. Lebaran, ulang tahunku, atau hari kelulusanku dulu—semua itu pernah dipenuhi dengan pelukan hangat Mama. Kini, setiap hari istimewa seperti kehilangan warnanya. Aku tetap tersenyum, tetap menyapa orang-orang dengan ramah, tapi di sudut hatiku ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun. Aku merindukan Mama, bukan hanya sebagai ibu, tapi juga sahabat, penasehat, dan penyembuh luka paling ampuh yang pernah kumiliki.

Kadang aku membuka album lama, melihat foto-foto Mama dengan tatapan yang sama setiap kali: penuh rindu. Aku membayangkan bagaimana kalau Mama masih ada, apa yang akan ia katakan saat aku merasa gagal? Apa yang akan ia lakukan saat aku kebingungan mengambil keputusan penting? Pasti Mama akan mengusap punggungku dan berkata lembut, “Tenang, Nak, semua akan baik-baik saja.” Kalimat sederhana, tapi mampu menegakkan tulang punggung yang nyaris patah.

Aku tahu, waktu tidak bisa diputar kembali. Tapi aku bisa mewarisi cintanya. Aku ingin menjadi seperti Mama. Menjadi pelita dalam keluarga kecilku. Menjadi tempat pulang yang menenangkan. Menjadi telinga yang tak pernah lelah mendengar, dan hati yang tak pernah letih memaafkan. Warisan terindah dari Mama bukan harta benda, tapi cinta tanpa syarat yang kini kutanam juga dalam jiwaku, agar kelak anak-anakku merasakannya seperti aku merasakannya dari Mama.

Dan ketika malam tiba, dalam keheningan sebelum tidur, aku kembali menyebut namanya. Tak banyak kata, hanya lirih, “Ya Allah, sayangi Mama seperti ia menyayangiku.” Lalu tangis perlahan mengalir, bukan lagi karena kehilangan, tapi karena rindu yang tak pernah pupus. Titip rinduku, ya Rabb, untuk Mama. Peluklah ia dengan rahmat-Mu, dan izinkan aku kelak kembali berkumpul dengannya, di surga yang abadi. Aamiin. [MA]

Kotabumi, 17 Juli 2025

Baca juga:

0 Comments: