OPINI
Siapa yang Melindungi Perempuan dan Anak dari Bahaya Siber?
Oleh. Ummu Fahhala
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)
SSCQMedia.Com—Kemajuan teknologi digital membawa banyak manfaat. Namun, di balik semua itu ada bahaya yang mengintai, terutama bagi perempuan dan anak. Gawai kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, bahkan di tangan balita. Tanpa pengawasan, anak-anak bisa terpapar konten berbahaya sejak dini.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), media sosial telah menjadi salah satu sumber utama kekerasan terhadap perempuan dan anak. (Tempo, 23 Januari 2024). Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri PPN/Kepala Bappenas, yang menyebutkan bahwa penggunaan gawai yang berlebihan menjadi ancaman nyata bagi generasi emas 2045. (Tempo, 28 Juli 2023).
Selain itu, laporan dari ANTARA (20 Februari 2024) menyebutkan bahwa penggunaan gawai di kalangan remaja juga menjadi tantangan tersendiri dalam menghadapi bonus demografi. Negara memang memperkenalkan PP TUNAS (Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Dunia Siber) ke organisasi telekomunikasi internasional (KemenPAN-RB, 24 Oktober 2023), tetapi sejauh mana perlindungan itu benar-benar terasa?
Perempuan dan anak memang berada di garis depan ancaman siber. Mereka bukan hanya korban konten kekerasan, tetapi juga menjadi sasaran empuk eksploitasi digital.
Dr. Ir. Rhenald Kasali, guru besar Universitas Indonesia dan pakar transformasi digital, pernah menekankan bahwa rendahnya literasi digital di masyarakat menyebabkan orang mudah terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan. (Kompas, 5 Oktober 2023). Ia menilai bahwa literasi tanpa pendampingan nilai akan menghasilkan kecanduan, bukan kemajuan.
Senada dengan itu, psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, menyebut bahwa “Pengawasan teknologi tidak bisa hanya diserahkan kepada keluarga, tapi harus dibackup oleh kebijakan negara.” (CNN Indonesia, 15 Februari 2024).
Akar Masalah: Sekularisme dan Kapitalisme Teknologi
Rendahnya literasi digital bukan satu-satunya penyebab. Akar persoalan ini lebih dalam, yakni lemahnya nilai keimanan dalam pendidikan dan dominasi sistem sekuler dalam pengelolaan negara. Teknologi dijalankan tanpa arah moral yang jelas. Pendidikan hanya fokus pada keterampilan dunia, bukan akhlak dan iman.
Negara yang seharusnya hadir melindungi, justru sibuk mengejar keuntungan dari arus digitalisasi. Konten-konten yang merusak dibiarkan beredar demi algoritma dan trafik. Kesejahteraan materi lebih diutamakan ketimbang keselamatan jiwa rakyat.
Lebih jauh, kapitalisme membuka jalan bagi penguasaan dunia siber oleh asing. Data anak-anak dan perempuan dijadikan komoditas. Kedaulatan negara perlahan tergerus. Siber bukan hanya soal akses internet, tapi juga soal kontrol, pengaruh, dan penjajahan gaya baru.
Solusi Islam: Sistem Siber Mandiri dan Pelindung Rakyat
Islam menawarkan solusi menyeluruh. Negara dalam sistem Islam berkewajiban melindungi rakyatnya, termasuk di dunia digital. Dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim).
Negara Islam tidak akan membiarkan konten merusak beredar bebas. Ia akan membangun infrastruktur teknologi mandiri, tanpa bergantung pada perusahaan asing yang menguasai data dan algoritma. Sebaliknya, negara akan memastikan semua teknologi membawa maslahat, bukan mudarat.
Khilafah di masa Umar bin Khattab pernah menunjukkan bagaimana negara menjaga informasi publik dengan adil dan amanah. Di era Khalifah Harun ar-Rasyid, umat Islam memimpin pengembangan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai syariat. Semua diarahkan untuk menjaga kemuliaan manusia.
Islam menetapkan bahwa negara wajib mengawasi setiap aspek kehidupan, termasuk dunia maya. Negara akan menyeleksi konten, mengatur platform, dan memberi edukasi kepada masyarakat sesuai akidah Islam. Tak ada celah bagi pornografi, kekerasan, dan penipuan daring.
Al-Qur’an mengingatkan, “Dan peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6). Ini perintah yang tidak bisa ditawar. Negara dalam Islam akan mewujudkan ruang digital yang bersih, aman, dan terarah demi keselamatan umat di dunia dan akhirat.
Hanya dengan sistem Islam yang kaffah, perempuan dan anak bisa benar-benar aman dari ancaman siber. Negara akan menjadi junnah sejati, bukan sekadar penonton.
Penutup
Perempuan dan anak membutuhkan perlindungan nyata di dunia siber. Bukan sekadar wacana atau kebijakan parsial, tapi sistem yang menyeluruh. Hanya dengan Islam, ancaman digital bisah dilawan dengan kekuatan iman, ilmu, dan negara pelindung. [Hz]
Baca juga:

0 Comments: