Perundungan di Sekolah dan Tanggung Jawab Sistemik
Oleh. Siti Nur Faridah, S.K.M
(Tenaga Kesehatan)
SSCQMedia.Com—Sekolah mestinya menjadi tempat mendidik generasi dengan akhlak mulia, tempat menimba ilmu dan membentuk karakter positif. Namun realitasnya justru memprihatinkan. Kita kembali dihadapkan pada berbagai kasus perundungan (bullying) di lingkungan sekolah, bahkan sampai pada bentuk kekerasan fisik dan psikologis yang mengarah pada tindakan kriminal.
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan dengan kasus seorang siswa SMP di Bandung yang mengalami trauma berat akibat dipukuli dan dirundung oleh teman-temannya sendiri (kompas.com, 10-6-2025).
Dalam laporan lain, ada siswa yang diceburkan ke sumur hanya karena menolak minum tuak. Ironisnya, pelaku bukan orang asing, tapi rekan sebaya. (cnnindonesia.com, 26-6-2025).
Ini bukan sekadar insiden terpisah, melainkan fenomena sosial yang berulang dan makin marak dari tahun ke tahun. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada generasi kita?
Kasus bullying seharusnya tidak dianggap remeh. Ia bisa menjadi pintu masuk pada tindakan kekerasan yang lebih besar, bahkan kriminalitas di usia muda. Yang lebih mengkhawatirkan, penanganannya sering kali baru dimulai setelah keluarga korban melapor. Di mana kehadiran aparat? Mengapa harus menunggu laporan, padahal banyak kasus yang telah terjadi di ruang publik dan viral di media sosial? Ini menunjukkan belum ada sistem pencegahan yang menyeluruh dan aktif berjalan di tingkat sekolah maupun masyarakat.
Evaluasi terhadap sekolah, komite, dan lembaga rehabilitasi memang penting. Namun, jika hanya berhenti di level teknis atau kasus per kasus, tanpa melihat akar masalah secara sistemik, maka kejadian serupa akan terus berulang.
Faktanya, sistem pendidikan kita hari ini lebih menekankan pada capaian akademik semata, bukan pada pembentukan kepribadian atau karakter mulia. Pendidikan sekuler hanya mencetak generasi untuk siap bekerja, bukan menjadi pribadi yang tangguh secara moral. Anak-anak belajar di bawah tekanan nilai, bukan didorong untuk mencintai ilmu dan kebaikan.
Lalu, di luar sekolah, media dan masyarakat tak memberikan dukungan positif. Prestasi akademi tak banyak dihargai. Sebaliknya, ajang pencarian bakat, konten viral, dan penampilan fisik justru dielu-elukan. Konten digital yang seringkali vulgar, amoral, dan mengagungkan kebebasan tanpa batas menjadi konsumsi sehari-hari. Di sisi lain, negara pun terkesan lebih sibuk menyalurkan bantuan konsumtif atau program populis daripada mengembangkan budaya pendidikan yang berprestasi.
Maka tak bisa tidak, penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan sistemik. Dimulai dari keluarga sebagai pondasi pertama pembentukan kepribadian anak. Keluarga harus kembali menjadi madrasah utama, tempat anak belajar akhlak, disiplin, dan kasih sayang. Namun keluarga tak bisa berjalan sendiri. Mereka perlu dukungan dari sistem pendidikan yang sejalan dan lingkungan sosial yang kondusif.
Negara memiliki tanggung jawab besar dalam hal ini. Negara seharusnya menjadi pelindung dan pengarah arah peradaban. Ia harus menyediakan sistem pendidikan yang membentuk kepribadian, bukan hanya memenuhi kebutuhan pasar kerja. Negara juga wajib memastikan media dan lingkungan publik bebas dari pengaruh buruk yang merusak karakter anak bangsa.
Sistem Islam menawarkan hal itu secara utuh. Islam tidak hanya mengatur ibadah pribadi, tapi juga pendidikan, keluarga, media, hingga sanksi hukum. Islam membentuk masyarakat bertakwa yang saling menasihati dan menjaga. Negara dalam Islam bukan hanya penegak hukum, tapi juga pendidik dan pembina masyarakat.
Sistem Islam telah terbukti melahirkan generasi unggul yang tak hanya cerdas, tapi juga berakhlak. Generasi yang menghormati guru, menyayangi sesama, dan mencintai ilmu pengetahuan. Mengapa kita tidak kembali kepada sistem yang sudah terbukti melahirkan peradaban gemilang ini?
Jika kita ingin generasi yang beradab dan bermartabat, maka kita harus bersedia mengevaluasi sistem kehidupan yang selama ini kita jalani. Mungkinkah sistem sekular Kapitalistik yang individualis dan permisif ini masih layak dipertahankan? Atau sudah saatnya kita mengambil sistem yang sesuai fitrah manusia: Islam yang kaffah? Wallahualam bissawab. [ry].
*) Penulis adalah tenaga kesehatan di Surabaya, aktif dalam edukasi keluarga dan masyarakat. Menulis opini sebagai bentuk kontribusi pemikiran terhadap perbaikan sistem sosial dan kesehatan bangsa.
Baca juga:

0 Comments: