Headlines
Loading...
Perundungan Anak di Sekolah: Butuh Transformasi Paradigma

Perundungan Anak di Sekolah: Butuh Transformasi Paradigma

Oleh. Aqila Fahru
(Kontributor SSCQMedia.Com)

SSCQMedia.Com—Seorang siswa SMP di Ciparay, Kabupaten Bandung, menjadi korban perundungan yang menggemparkan publik setelah menolak ajakan untuk mengonsumsi minuman beralkohol. Keengganannya untuk mengikuti perilaku menyimpang justru berujung pada tindakan kekerasan: ia diceburkan ke dalam sumur oleh sejumlah teman sebayanya.

Menanggapi insiden tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyuarakan keprihatinannya dan menegaskan bahwa pelaku harus ditindak secara tegas—baik secara administratif maupun hukum. Menurutnya, tindakan semacam ini bukan hanya pelanggaran norma sosial, tetapi telah masuk kategori tindak pidana.

Irfani juga mendorong keterlibatan aktif dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta aparat penegak hukum untuk memastikan kasus ini ditangani dengan serius dan berkeadilan.

Sebagai langkah jangka panjang, ia mengusulkan dibentuknya tim pencegahan kekerasan di sekolah yang melibatkan seluruh elemen pendidikan: guru, siswa, hingga orang tua. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem sekolah yang aman, suportif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan (rri.co.id, 27/06/2025)

Kasus perundungan terhadap anak masih menjadi kenyataan yang mengkhawatirkan, bahkan menunjukkan kecenderungan makin mengarah pada tindak kriminal. Ironisnya, pelaku dalam kasus terbaru adalah rekan sebaya dari korban, yakni sesama siswa SMP. Meningkatnya jumlah kejadian semacam ini dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa perundungan merupakan masalah yang jauh lebih kompleks dan mendalam, sebuah fenomena gunung es yang belum sepenuhnya terungkap.

Situasi tersebut mencerminkan lemahnya efektivitas regulasi perlindungan anak serta sistem sanksi yang belum mampu memberikan efek jera. Kelemahan ini turut terkait dengan bagaimana sistem saat ini mendefinisikan anak dan menyikapi perilakunya. Di sisi lain, kegagalan sistem pendidikan juga turut berperan, terlihat dari adanya penggunaan minuman keras seperti tuak dan perilaku agresif yang dilakukan oleh anak-anak sendiri. Kejadian ini menambah ragam bentuk perundungan yang telah dikenal sebelumnya.

Fenomena ini merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang memengaruhi berbagai aspek sosial secara sistemik. Oleh karena itu, perbaikan tidak cukup dilakukan melalui penyesuaian regulasi atau pemberlakuan hukuman yang berat. Diperlukan transformasi paradigma yang lebih mendasar dan menyeluruh dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Dalam perspektif Islam, perundungan merupakan tindakan yang dilarang, baik dalam bentuk verbal, fisik, maupun yang melibatkan konsumsi barang haram. Setiap tindakan manusia memiliki pertanggungjawaban moral dan spiritual. Islam menetapkan usia baligh sebagai titik awal tanggung jawab individu. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi ï·º, pendidikan Islam yang berbasis akidah bertujuan membekali anak sejak dini agar siap menjalani fase balig sebagai mukalaf.

Pendidikan ini merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan negara. Negara bertugas menyusun kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada setiap jenjang pendidikan, termasuk dalam ranah keluarga. Tujuannya adalah membentuk generasi yang berkepribadian Islami.

Sistem informasi dan sistem sanksi dalam kerangka Islam turut memperkuat arah dan pelaksanaan pendidikan tersebut. Dengan pendekatan ini, diharapkan lahir generasi masa depan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam sikap dan perilakunya. [PR]

Baca juga:

0 Comments: